Jeffrey Winters [JW]: Dia pada saat berperang di Irak dan dia ingin dukungan dunia semaksimal mungkin untuk perangnya dan foreign policynya (kebijakan luar negerinya, red), dia kunjungi jemaah Islam yang paling besar di dunia. Dan daripada dia pergi ke Jakarta, dia malah pergi ke pulau Hindu. Pampresnya sebenarnya menolak.
Radio Nederland [RN]: Tetapi, kalau saya tidak salah, waktu itu, Presiden Reagan kan juga begitu? Ketemu Soeharto di Bali dan bukan di Jakarta. Jadi maksud saya ini ciri khas orang-orang partai Republik.
JW: (Tertawa). Betul Reagan memang ke Bali. Tetapi sebenarnya yang lebih tepat, kalau Bush mau ketemu dan pasarkan foreign policynya (kebijakan luar negerinya, red) ke orang Indonesia, mungkin lebih baik ke pusatnya, ke Jakarta daripada ke Bali. Tetapi salah satu alasan kenapa Bush mau ke Bali, daripada ke Jakarta, dia tidak mau menghadapi demo-demo yang pasti agak besar kalau dia ke Jakarta.
RN: Anda tadi mengatakan ya bahwa pampresnya tidak setuju kalau Bush ke Indonesia, makanya dipilih Bali begitu, sebenarnya kenapa sih menurut anda Bush kok masih tetep ingin ke Indonesia?
JW: Jangan lupa belum lama ini ada semacam polling (jajak pendapat, red) internasional dari Gedung Putih dan juga dari Congress. Ada sekelompok orang bicara dengan banyak negara, mereka interview orang, termasuk di Indonesia, mengenai pandangan mereka tentang Amerika Serikat. Dan ternyata hasilnya sangat mengejutkan untuk Gedung Putih bahwa seluruh dunia itu marah sekali dengan Amerika Serikat. Panas kemarahannya ya.
Yang menarik kesimpulannya di Gedung Putih adalah kita kurang berkomunikasi. Jadi mereka salah faham. Tetapi itu punya asumsi bahwa orang di seluruh dunia ini enggak paham, tetapi justru mereka paham. Mereka tidak suka policynya (kebijakannya, red.). Mereka tidak bingung, tidak bodoh.
Selama di Bali Bush akan ketemu sekelompok orang Islam moderat. Mudah-mudahan dia dengar kenapa persisnya rakyat Indonesia atau rakyat negara lain di Asia itu menolak foreign policy (kebijakan luar negeri, red.) Amerika Serikat.
RN: Indonesia sebaiknya bersikap apa dalam menghadapi Bush yang berkunjung ke Bali ini?
JW: Sebaiknya sampaikan pesan juga bahwa tidak tepat waktunya untuk buka hubungan erat lagi dengan TNI. Karena walau pun Bush dan Pentagon ingin dekat dengan TNI karena alasan security (keamanan, red) yaitu untuk menghadapi terorisme, TNI ini belum direformasikan. Jadi ini masih tetap TNI yang ada darah di tangannya dan belum ada yang diadili. Walau pun memang bener, Amerika Serikat harus punya hubungan dengan security forces (aparat keamanan, red.) di Asia Tenggara, jangan berpeluk erat dengan institusi yang belum reformasi dan melawan reformasi selama ini. Kalau perlu tunggu aja. Dan itu memang sikapnya Congress di Amerika Serikat.
RN: Tapi Amerika dalam perang melawan terorisme ini kenapa lebih banyak berhubungan dengan TNI, kok tidak dengan unsur-unsur Islamnya?
JW: Ada upaya dari Kedutaan. Buka hubungan dengan umat Islam di Indonesia, bahwa ini perang anti orang tertentu, bukan anti suatu agama. Islam yang riil, Islam yang murni itu yang diikuti oleh kebanyakan orang Indonesia. Makanya kebanyakan orang Indonesia tidak mau menjadi teroris.
RN: Lalu bagaimana dari segi ekonomi, menurut anda apakah Amerika masih punya peran di Indonesia?
JW: Ya masih ada. Tetapi kita lihat juga bahwa investasi dari Amerika Serikat, sejak 1997/1998, sejak awal krisisnya, menurun. Dan setiap tahun secara netto itu negatif. Indonesia sekarang tidak bisa menciptakan iklim investasi yang ada kepastian. Kepastian hukum, kepastian security (keamanan, red.) ndak ada.
Dan korupsi sama sekali tidak dihentikan, tapi justru ditingkatkan. Sifat korupsinya berbeda dengan korupsinya di bawah Soeharto. Ini contoh yang sederhana saja. Orang bisnis bilang begini. Memang selama orde baru sistemnya tidak transparan. Itu seperti kita ada di ruang yang gelap. Dindingnya segi empat ya. Jadi kalau mereka pegang dindingnya, mereka tahu ada di mana. Sekarang mereka merasa seperti ada di dalam ruang yang gelap tetapi dindingnya bunder. Jadi pegang-pegang enggak tahu ada di mana. Jadi tidak ada kepastian sama sekali. Itu situasi yang ada di Indonesia sekarang.