Hidayatullah.com—Bersama tiga orang petugas amil zakat (Wita, Nisa dan Nasir) dari Baitul Mal Aceh (BMA), hari Jumat, 27 Agustus 2010 lalu saya menelusuri rute pantai barat selatan Aceh menuju Kota Subulussalam.
Tugas utama kami mengantarkan paket Ramadhan untuk 60 muallaf di Kota Subulussalam, Aceh Singkil dan Aceh Tenggara.
“Ini tugas amil yang tertunda, akibat masalah teknis administrasi sudah tiga kali tertunda, mestinya sudah kita antar sebelum bulan puasa,” kata Wita, pemilik nama lengkap Yuwita SH, Kabid Penyaluran Zakat BMA.
Kami memilih perjalanan melewati rute barat selatan, karena rasa khawatir mendapat razia polisi lalu lintas di wilayah hukum Sumatera Utara, sebab mobil operasional Avanza yang kami gunakan dipadati dengan paket untuk muallaf.
Lazimnya razia polisi, akan terjadi tawar menawar yang berakhir dengan pembayaran sejumlah rupiah untuk sang polisi. Kami berombongan menghindari praktik pungli seperti itu. Padahal, jika kami memilih jalur Medan (Sumatra Utara), kami bisa menginap (istirahat) di Perwakilan Aceh dan besoknya melanjutkan perjalanan ke Kota Sublussalam.
60 Paket muallaf yang kami bawa dan dipaketkan masing-masing dalam satu tas runser bersisi al-Quran terjemahan, pakaian ibadah (mukena, baju koko, sajadah) dan bahan bacaan senilai Rp 350 ribu/paket.
“Ini harga tanpa mark up,” kata Wita. Penyaluran zakat untuk para muallaf dalam bentuk paket ini bukan pertama kali dilakukan BMA, namun sejak empat tahun lalu penyaluran sudah dilalukukan di tiga kabupaten/kota rawan aqidah itu. Program pendampingan daerah rawan aqidah adalah perioritas BMA.
Menelusuri pantai barat selatan dalam suasana puasa Ramadhan mendapatkan kesan khusus. Walaupun kami diizinkan untuk berbuka karena status safar, namun sepakat untuk tetap puasa, mengingat sangat sulit mendapatkan makanan /makan siang di sepanjang perjalanan. Semua toko makanan tutup. Alasan lain, berpuasa dalam safar lebih ringan daripada mengqadha (mengganti) puasa nantinya.
Dalam perjalanan yang harus melewati dua rakit penyeberangan di Aceh Jaya – Meulaboh, saya menyaksikan para pekerja terus memacu pembangunan kembali jalan yang hancur akibat tsunami 2004 lalu.
Pembangunan jalan dan jembatan yang dibayai USAID itu, jika dikerjakan serius diperkirakan dua tahu lagi akan tuntas.
“Jika kita lewat lagi jalur ini dua tahun ke depan, tak akan ada lagi rakit penyeberangan,” ujar Nasir. Nasir adalah sopir pribadi Kepala BMA yang diperbantukan membantu kelancaran perjalanan kami.
Perjalanan yang cukup melelahkan itu akhirnya kami mendapatan siraman air dingin setelah air terjun di perbatasan Sawang/Samadua, Aceh Selatan kelihatan nan elok. Kami tidak menggunakan kesempatan itu untuk mandi-mandi, tapi hanya berbasah-basah saja mengingat waktu menjelang senja. Saya menyempatkan diri berwudhu dengan air dingin itu, sebagai rasa syukur atas indahnya alam dan nikmat air melimpah karunia Allah swt.
Saya bertanya kepada seorang pemuda yang sedang mandi sore itu, mengapa masyarakay menyebut lokasi itu dengan istilah air dingin? bukan air terjun?
“Karena, air terjunnya dingin sekali,” katanya. Subhanallah. Lokasi nan indah dan elok di Aceh. Mestinya menjadi obyek wisata, namun kurang dipromosikan oleh pemerintah setempat. Biasanya, hari-hari liburan sekolah hanya dipadati wisatawan lokal.
Menjelang Maghrib, kami membeli perbekalan berbuka puasa di Kota Tapaktuan, Aceh Selatan. Menu istimewa adalah ikan bakar yang dijual di pingir jalan depan Masjid Istiqamah Tapaktuan.
“Wah, beda sekali dengan di Banda Aceh, di sana ikan bakarnya di jual di tempat khusus, sementara di Tapaktuan kita bisa dapatkan ikan bakar di pinghir jalan, seperti membeli penganan berbuka lainnya,” kata Nisa.
Alhamdulilllah, kami bisa buka puasa hari pertama safar di Sibadeh, Aceh Selatan. Tidak jauh dari peukan Bakongan. Kami memilih lokasi pantai yang berdekatan dengan masjid. Dekat jalan raya. Ditambah lagi, kami penasaran juga terhadap sebuah kapal besar yang sedang berlabuh di pelabuhan nelayan Sibadeh. Menurut penuturan seorang warga, kapal itulah yang mengangkut tanah biji besi dari Menggamat, Aceh Selatan, ke luar negeri. Tapi masyarakat hanya jadi penonton saja, karena biji besi itu tidak diolah di dalam negeri.
Setelah perjalanan darat 14 jam, kami tiba di sebuah penginapan di Kota Subulusssalam. Wita dan Nisa langsung memilih kamar hotel untuk istirahat. Saya dan Nasir masih ingin menikmati suasana malam di kota yang sedang berkembang itu. Nasir menghabiskan sisa ikan bakar dari Tapaktuan. Saya ke Warket untuk memperbaharui status di Facebook. Suasana malam di Kota Sublussalam tidak jauh beda dengan di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, tempat kami berasal. Suara tadarus al-Quran terdengar keras lewat pengeras suara di masjid-masjid dan musalla.
Asmara Muallaf
Sabtu, 28 Agustus 2010 kami menjalani tugas penyaluran paket muallaf yang dipusatkan di Kantor Baitul Mal Kota Subulussalam (BMKS). Saya berkesempatan mewawancarai beberapa muallaf, di antaranya Hotman Solin berganti nama menjadi Miftah (38), Sunggul Simbolon (Abdurrahman), Ninta (Muslimah) dan Teti Sinaga (Siti Nuraida). Wow, betapa mengejutkan, keempatnya mengakui awal proses mereka menjadi muallaf diawali faktor asmara. Ceritanya, mereka berkenalan dan jatuh cinta lalu pindah agama yang berakhir dengan pernikahan.
Ini pengalaman saya pertama mewawancarai muallaf lebih mendalam. Sebelumnya memang pernah menemukan beberapa muallaf yang karena akan menikah harus masuk Islam lebih dahulu. Bahkan, pasca tsunami 2004 di Aceh, beberara relawan calon muallaf minta disyahadatkan di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Alasaan mereka juga akan menikah dengan gadis Aceh. Temuan di Kota Subulussalam mengejutkan, karena sebelumnya saya mendapatkan informasi bahwa banyaknya muallaf di perbatasan Aceh – Sumatera Utara karena suksesnya da’i perbatasan yang dikirim oleh Dinas Syariat Islam. Tapi informasi itu tidak seluruhnya benar, buktinya, banyak muallaf baru lahir akibat ‘dibakar’ api asmara.
Fakta ini diperkuat pengakuan Kepala BMKS, Maskur. Menurutnya, dalam setahun ada 40 muallaf yang masuk Islam di Kota Subkussalam, namun sulit sekali mendeteteksi keberadaan meraka. Diantaranya menikah dan tidak menetap di Kota Subulussalam.
Umumnya mereka berasal dari Sumatera Utara. Saat ini, katanya, hanya 18 orang muallaf yang terdata dan mendapat hak zakat dari BMKS.
“Ini muallaf yang sesuai dengan kriteria baitul mal yaitu muallaf belum tiga tahun dan bertempat tinggal di Subulussalam,” katanya.
Kami menyalurkan delapan paket muallaf di Kota Sublussalam, 18 paket di Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil, dan 34 paket di Aceh Tenggara. Saya juga mewawancari beberapa muallaf lain dalam penyaluran paket di Kantor KUA Lawe Sigala-gala. Sebagian diantara mereka juga mengakui pada awalnya kenal dengan calon suami/calon isteri yang Muslim, lalu mereka merencanakan pindah agama dan menikah.
Minim Pembinaan
Asmara atau cinta memang bukan faktor tunggal seseorang menjadi muallaf. Kami juga menemukan faktor ekonomi, pekerjaan, merasa tidak nyaman menjadi minoritas di pemukiman muslim dan juga faktor kesadaran penuh memilih Islam sebagai agama yang rasional dan memiliki ajaran yang lengkap. Justru yang kita sayangkan, ada juga faktor menjadikan sertifikat muallaf sebagai media mendapat fasilitas zakat, menceri sedekah dan mendadapatkan berbagai bantuan dari masyarakat Islam.
Masalah utama muallaf saat ini di Kota Sublussalam, Singkil dan Aceh Tenggara adalah minimnya pembinaan keislaman terhadap mereka. Lembaga dakwah dan da’i kita belum menemukan format pembinaan muallaf yang efektif. Ada juga faktor terbatasnya dana pembinaan.
“Kita mesti bina meraka, walaupun keislamannya sudah di atas tiga tahun,” kata Najamuddin SAg, Kepala KUA Lawe Sigala-gala. Ia adalah KUA teladan tingkat Provinsi Aceh tahun 2010 dan peringkat enam KUA Nasional.
Selama ini, BMA telah mendukung fasilitasi pembinaan (training) muallaf yang dilakukan oleh Forum Da’i Perbatasan, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) dan Koniry di Aceh Singkil. Namun upaya ini perlu terus ditingkatkan. Menurut Wita, dalam waktu dekat BMA mengupayakan program pemberdayaan ekonomi muallaf. BMA mengaku akan mendata para muallaf yang memiliki potensi dan kegiatan ekonomi untuk diberikan modal usaha.
“Kita berharap Baitul Mal Kab/Kota dapat melakukan pendatataan dari sekarang,” katanya.
Rehab Masjid
Selain tugas penyaluran zakat dalam bentuk paket Ramadhan untuk mullaf, kami juga melakukan supervisi rehab Masjid Al Iman Jonthor, Kota Sublussalam tahap kedua dengan dana Rp 100 juta (tahap pertama juga Rp 100 juta), dan Masjid Al Huda Gampong Siatas Kec Simpang Kanan Aceh Singkil dengan dana Rp 100 juta.
Kami meninjau lokasi rencana pembangunan Masjid Al Mukhlisin di Gampong Beriring Naru, Kec Deleng Pekhison Aceh Tenggara dengan dana Rp 100 juta. Masjid-masjid ini direhap karena berada dalam zona rawan aqidah. Sebelumnya BMA telah merahap Masjid Jaladri, Aceh Tengga Rp 100 juta dan Masjid Siompin, Aceh Singkil Rp 100 juta.
Pengalaman menarik sekaligus menyentakkan batin dalam tugas amil kali ini, kami menyaksikan pembangunan fondasi geraja di Gampong Pertabas Kec Simpang Kanan, Aceh Singkil, yang hanya berjarak dua kilometer dari Masjid Al Huda yang direhap BMA.
Menurut Camat Simpang Kanan, Abdul Hanan, kasus gereja ini sudah dibahas pada tingakat forum kerukunan antar ummat beragama. Pembangunannya sekarang dihentikan dan pihaknya tidak mengharapkan timbulnya konflik antar agama gara-gara pendirian rumah ibadah.
Kami mengakhiri perjalanan tugas ini dengan memilih rute pulang lewat Medan Sumatera Utara, Ahad, 29 Agustus 2010. Rute ini juga melewati Lawe Sigala-gala Aceh Tenggara yang baru saja dilanda banjir bandang.
Lima rumah dibawa bajir, namun tidak ada korban jiwa. Banjir bandang terjadi hanya bebera menit setelah kami meninggalkan kantor KUA Lawe Sigala-gala menuju Kotacane, ibukota Kab Aceh Tenggara.
“Ini bentuk proteksi Allah swt terhadap amil, tak terbayangkan jika banjir datang kita masih di Lawe-sigala-gala,” kata Wita, terpaku.
Seperti hari-hari sebelumnya, kali ini kami berbuka puasa di sebuah masjid di Fak Fak Barat, Sumatera Utara. Tidak banyak berhenti dan istirahat dalam perjalanan amil ini. Malam hari pun kami lakukan perjalanan. Spirit “jihad” dan peduli membuat kami senantiasa segar dan sehat, walaupun kadang terasa lelah juga. Maklum sedang berpuasa.
Beruntunglah diantara kami (khususnya yang wanita) dalam perjalanan pulang ada yang mendapat “bonus” tidak berpuasa. Keberuntungan berikutnya kami berkesempatan istirahat puas dan belanja kebutuhan lebaran di Kota Medan.
Berkesan juga bisa menginap di Wisma Syariah Harikita Medan. Sungguh ini merupakan perjalan sebagai amil yang cukup panjang dan melelahkan. Namun berkeliling Aceh dari pantai barat selatan dan pulang melawati pantai timur Aceh, sungguh menakjubkan. Allahu Akbar! [Sayyed, Aceh/hidayatullah.com]
Foto: Muhammad Sayyed Husain. doc