Oleh Attabik Lutfi MA
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu (menjadi lebih) bertakwa.”
(QS Al-Baqarah: 183)
Allah SWT menjelaskan keistimewaan yang besar kepada ibadah puasa langsung melalui ayat-ayat-Nya yang juga istimewa, di antaranya:
Pertama, Secara redaksional, dari semua perintah Allah tentang ibadah mahdhah, hanya ibadah puasa yang istimewa karena diawali dengan seruan khusus yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman, ‘Hai orang-orang yang beriman,’ seperti yang dapat dibaca pada ayat kunci di atas. Karenanya, orang beriman harus merasa terpanggil dan berusaha dengan sungguh-sungguh memenuhi perintah Allah. Hal ini berarti bahwa pertaruhan dalam menjalankan ibadah puasa adalah pertaruhan iman seperti yang disabdakan Rasulullah SAW: “Siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridha Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang terdahulu.” (Muttafaq `Alaih). Kalimat hadis ‘dengan penuh keimanan‘ artinya tentu hanya orang yang telah beriman yang dapat merealisasikannya.
Karena khithab ayat inti puasa di atas ditujukan khusus kepada orang-orang beriman, maka bentuk perintah puasa dalam ayat di atas cukup memadai dengan perintah tidak langsung dalam bentuk kata kerja pasif, ‘diwajibkan.’ Bentuk perintah seperti ini tidak lain adalah untuk menguji sensitivitas orang-orang yang beriman terhadap perintah Allah dalam bentuk apa pun. Pemberi perintahnya diketahui langsung ataupun tidak, tidak masalah, karena pada prinsipnya merupakan sebuah perintah yang harus dijalankan dengan penuh rasa ‘iman‘ tanpa ada bantahan atau apologi, kecuali pada tataran teknis aplikasi yang dibenarkan.
Kedua, Hanya ibadah puasa Ramadhan yang ditetapkan dengan target yang sangat tinggi, ‘agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.’ Seperti diketahui tidak ada kedudukan yang lebih tinggi di mata Allah dari takwa, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat: 13). Sedangkan ibadah yang lainnya seperti shalat, zakat dan haji tidak disebutkan secara eksplisit harapan Allah atas pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut. Harapan Allah yang sangat besar dari pelaksanaan ibadah puasa ini tentu mengindikasikan keutamaan dan urgensi puasa dalam kehidupan orang yang beriman. Mereka akan dinaikkan kelasnya dari orang beriman menjadi orang bertakwa melalui media puasa Ramadhan dengan segenap paket ibadah yang termasuk di dalamnya.
Ketiga, Hanya ayat-ayat yang berbicara tentang puasa yang dihimpun dalam satu surah secara berurutan, yaitu surah Al-Baqarah dari ayat 183 sampai ayat 187. Kondisi ini memudahkan untuk membaca, memahami, dan mengetahui hal-hal yang terkait dengan ibadah puasa dalam tinjauan al-Qur’an al-Karim tanpa harus mencari di beberapa surah yang berbeda atau ayat lain, seperti yang terjadi pada ibadah selain puasa. Susunan al-Qur’an seperti itu tentu bukan tanpa hikmah dan pelajaran yang harus diungkap dan bukan sekadar untuk menunjukkan unsur keindahan bahasa al-Qur’an atau aspek lainnya. Susunan ayat-ayat puasa yang berurutan merupakan bentuk perhatian besar Allah terhadap ibadah yang agung ini.
Keempat, Pada umumnya, al-Qur’an hanya akan berbicara secara global berkenaan dengan ibadah tertentu karena penjelasannya diserahkan kepada Rasulullah SAW. Shalat, misalnya, dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah melalui hadisnya, “Shalatlah seperti engkau semua melihat aku shalat.” (HR Bukhari). Juga haji, Rasulullah bersabda, “Ambillah dariku manasik (tata cara) ibadah haji kalian.” (HR Bukhari). Berbeda dengan ayat puasa, Allah menjelaskannya lebih rinci hal-hal yang terkait dengan aspek fiqih puasa. Di antaranya, sifat orang yang wajib berpuasa, orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan cara mengganti puasa yang ditinggalkannya, waktu berpuasa, sampai kepada ibadah agung yang menyertai ibadah puasa yaitu i’tikaf secara lengkap. Penjelasan yang lebih rinci dari al-Qur’an ini menunjukkan keistimewaan puasa yang dibedakan dari ibadah-ibadah lainnya.
Kelima, Ibadah puasa merupakan ibadah yang menyejarah karena sudah dilaksanakan sejak lama sebelum menjadi syariat umat Muhammad SAW. Al-Qur’an sendiri yang menyatakan hal tersebut, “Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.’ Pernyataan langsung Allah bahwa ibadah puasa merupakan kelanjutan dari umat terdahulu mengindikasikan bahwa ibadah yang satu ini merupakan titik temu antar seluruh umat beragama sebelum Islam. Dalam bahasa Prof Dr Yusuf al-Qaradawi, syariat puasa merupakan syariat kolektif seluruh agama samawi yang menjadi ‘kalimatun sawa’ antar seluruh penganutnya, sehingga tepat untuk dijadikan alat ukur keberlangsungan sebuah ibadah.
Kalimatun Sawa ini tidak hanya dilihat dari prinsip puasa sebagai media peningkatan kualitas kebaikan manusia, namun dapat dilihat juga dari beberapa persamaan dalam tata cara pelaksanaanya. Misalnya praktek puasa yang dijalankan adalah dengan meninggalkan makan dan minum serta nafsu syahwat selama beberapa waktu yang ditentukan. Bahkan dalam pandangan Imam Thabari, waktu pelaksanaan puasa juga sama yaitu bulan Ramadhan.
Bahkan, secara historis, ibadah puasa Ramadhan bagi umat Islam merupakan kelanjutan dari puasa Asyura, seperti dalam pandangan ulama mazhab Hanafi. Menurut mereka, puasa pertama yang diwajibkan kepada umat Islam adalah puasa Asyura yang kemudian dinasakh (dihapuskan) dengan puasa Ramadhan. Imam al-Qurthubi menambahkan bahwa kewajiban puasa sebelum Ramadhan adalah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa Asyura’. Beberapa persamaan dalam pelaksanaan ibadah puasa dan beberapa syariat puasa yang berasal dari ajaran umat terdahulu secara historis menjadi titik temu seluruh penganut agama samawi.
Keenam, Apabila ayat-ayat puasa teresbut dicermati satu per satu, maka setiap ayat secara berurutan tersebut merupakan penjelas bagi ayat sebelumnya. Begitu seterusnya sehingga membentuk satu kesatuan ayat yang sinergis dan memiliki keterkaitan, bahkan saling melengkapi membentuk satu susunan ayat yang memiliki makna yang korelatif dan komprehensif. Contohnya ayat 183 yang berbicara tentang target pelaksanaan ibadah Ramadhan yang demikian tinggi, yaitu untuk mencapai derajat takwa, membutuhkan waktu yang panjang. Jangankan membina manusia menjadi yang paling tinggi (orang bertakwa), membina manusia menjadi seorang mukmin, taat, dan shalih saja membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka ayat setelahnya (184) menjelaskan bahwa proses pembinaan menuju insan bertakwa harus dilakukan dalam waktu yang relatif lama “Ayyaman Ma’dudat”. Dan memang hanya ibadah puasa yang waktu pelaksanaanya berlangsung lebih lama dibanding dengan ibadah mahdhah lainnya seperti shalat yang dapat dirampungkan dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam saja. Atau ibadah haji yang hanya memakan waktu lima sampai 6 hari (8 Dzulhijjah – 12 atau 13 Dzulhijjah) saja, sesuai manasik yang diajarkan Rasulullah SAW. Penetapan waktu yang sangat panjang bagi ibadah Ramadhan mengisyaratkan skenario Allah yang sangat tepat untuk melahirkan manusia tertinggi sepanjang zaman, yaitu orang yang bertakwa kepada-Nya.
Ayat ke 185 yang diawali dengan ungkapan, “Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas akan petunjuk tersebut, serta sebagai pembeda.” merupakan penjelas bagi ayat sebelumnya bahwa proses pembinaan manusia menuju insan bertakwa yang memakan waktu relatif lama (satu bulan) perlu pembentukan suasana yang kondusif, maka Allah pilih bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya al-Qur’an yang akan menyinari hati manusia kala itu dan siapa pun pasti merasakan suasana yang demikian kondusif dan tenang untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Dan ternyata benar, siapa pun di bulan Ramadhan akan jauh lebih bertakwa dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya. Sampai Rasulullah saw mengancam dalam salah satu sabdanya, “Siapa yang terhalang dari kebaikan (bulan Ramadhan), berarti ia terhalang dari kebaikan (selama-lamanya).” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Namun meski suasana Ramadhan yang kondusif dan pengaturan waktu yang relatif panjang tidak akan membuahkan hasil bila tidak mendapat pertolongan dan rahmat Allah SWT. Maka seperti yang dinyatakan di ayat 186, kedekatan dengan Allah merupakan faktor yang sangat menentukan seseorang akan mendapat bimbingan-Nya. Semakin dekat seseorang dengan Allah, maka semakin ringan dan mudah menjalankan kebaikan, dan itu pertanda kasih sayang dan rahmat Allah kepadanya. Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (Muttafaq `Alaih)
Demikian tajam dan tegas redaksi ayat pertama sampai ayat keempat yang berbicara tentang puasa. Ayat-ayat tersebut memompa semangat dan motivasi setiap orang untuk menunjukkan ketakwaannya yang lebih di bulan yang mulia dengan beragam aktivitas ibadah dan amal shalih yang terkadang bisa jadi menafikan aspek ibadah sosial dan hak serta kewajiban sesama manusia. Karenanya, di akhir ayat puasa (al-Baqarah: 187) Allah memberi keringanan sekaligus mengingatkan bahwa aktivitas ibadah mahdhah yang demikian kuat tidak boleh melalaikan akan hak dan kewajiban kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat dalam bentuk hubungan dan komunikasi lainnya, “Dihalalkan bagi kalian di malam-malam puasa untuk bercampur dengan isteri-isteri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian juga adalah pakaian bagi mereka.”
Demikian indah, lengkap, dan erat korelasi antar ayat-ayat puasa yang semakin menunjukkan istimewanya ibadah yang satu ini di mata Allah. Karena Allah sendiri yang mengistimewakannya melalui ayat-ayat-Nya yang mulia. Tentu harapan Allah yang demikian besar yang tertuang dalam ayat-ayat puasa tidak akan dihampakan oleh orang-orang yang beriman, karena merekalah hamba-hamba pilihan-Nya yang diseru dengan ungkapan cinta dan kasih sayang, nida’ul wudd wal mahabbah: ‘Hai orang-orang yang beriman.’*