Ulama membolehkan menulis cerita fiksi atau puisi fiksi dengan tujuannya baik, untuk melawan keburukan, ukuranya tidak mendustakan perkara-perkara yang telah baku, khususnya perkara yang ditetapkan agama
Hidayatullah.com | FABEL merupakan kisah fiktif yang menjadikan hewan sebagai tokoh yang berperilaku seperti manusa. Fabel merupakan cerita yang ditulis untuk diperoleh pelajaran darinya.
Arab sendiri memiliki tradisi dalam bahasa mereka, yakni penggunaan tasybih atau permisalan dengan kisah-kisah hewan yang berperilaku seperti manusia. Menurut Ibnu Al-Jauzi, hal itu menunjukkan kecerdikan bangsa Arab. (Al Adzkiya`, hal. 241)
Waspada Melebih Gagak
Orang-orang Arab sering kali memberi nasihat, dengan mengambil pelajaran dari kisah-kisah hewan. Seorang ulama dan sejarawan terkemuka di Andalusia, Abu Ubaid al-Andalusi menulis cerita yang diambil dari kisah masyarakat Arab.
Bahwa seringkali orang Arab berkata, ”Sesungguhnya ia lebih waspada daripada gagak.”
Hal, itu dikarenakan ada kisah, bahwasannya suatu saat seekor gagak berkata kepada anaknya, ”Jika engkau melempar, maka engkau berputar.”
Maka si anak gagak pun menjawab, ”Wahai ayah, aku akan berputar sebelum melempar.” (Fashl Al Maqal fi Syarh Al Kitab Al Amtsal, hal. 191).
Rubah dan Serigala
Sedangkan para ulama juga sering kali mengambil kisah-kisah hewan untuk dijadikan pelajar. Asy Sya`bi pun berkisah:
”Suatu saat singa sakit, lantas para binatang buas pun menjenguknya, kecuali rubah. Lantas serigala berkata kepada singa,’Wahai raja, paduka sakit dan para binatang buas menjenguk, kecuali rubah.’Singa pun berkata,’Jika ia datang, maka beri tahu aku.’ Kabar itu pun sampai kepada rubah, hingga ia pun datang menghadap singa. Singa pun bertanya,’Wahai rubah, aku sakit lantas seluruh binatang buas menjengukku, kecuali angkau.’ Rubah pun menjawab,’Aku mendengar Raja sakit, lantas aku pun pergi intuk mencari obat.’ Lantas singa pun berkata,’Apa obat yang engkau telah dapatkan?’ Rubah pun menjawab,’Mutiara yang ada di betis serigala, ia harus dikeluarkan.’ Lantas singa pun mencakar betis serigala hingga berdarah, lantas serigala itu pun lari. Saat serigala kesakitan dan lukanya pun mengeluarkan darah, maka rubah pun berkata kepadanya,`Wahai serigala, jika engkau menghadap penguasa, hati-hatilah dengan perkataanmu!’ (dalam Al Adzkiya`, hal. 241).
Qunburah dan Pemburu
Asy Sya`bi juga mengkisahkan kisah fabel lainnya;
”Ada seorang pemburu yang berburu qunburah (burung lark). Ketika burung kecil itu sudah di tangannya.”.
Ia pun bertanya, “Apa yang hendak engkau lakukan kepadaku?”
Pemburu itu pun menjawab, “Aku akan menyembelih dan memakanmu.”
Qunburah pun bertanya kembali, “Aku tidak membuat penyakit menjadi sembuh dan aku juga tidak bisa mengenyangkan dari lapar. Namun, aku akan memberi tahu kepadamu tiga hal, yang mana itu lebih baik daripada engkau memakanku. Yang pertama, aku memberi tahu kepadamu ketika aku berada di tanganmu. Yang kedua, aku beritahu kepadamu ketika aku berada di atas dahan. Dan ketiga, aku memberi tahu kepadamu ketika aku berada di atas tebing.”
Si pemburu pun berkata, “Baiklah, sampaiknm kepadaku yang pertama!”
Qunburah pun menjawab, “Jangan kecewa terhadap sesuatu yang lepas darimu.”
Ketika Qunburah hinggap di atas dahan si pemburu pun berkata, “Sampaikan yang kedua.”
Qunburah pun berkata, “Janganlah percaya sesuatu yang tidak akan terjadi akan terjadi.”
Ketika sampai di atas tebing Qunburah pun berkata, “Kalau sekiranya engkau menyembelihku, maka engkau akan memperoleh dua butir emas dalam tembolokku masing-masing seberat dua puluh mitsqal (1 mitsqal = 4,25 gram).’ Tampaklah penyesalan di wajah pemburu itu sambil ia menggigit bibirnya, lantas ia berkata kepada Qunburah, “Sampaikan yang ketiga!”
Qunburah pun menjawab, “Engkau telah lupa terhadap dua perkara yang telah aku sampaikan, bagaimana engkau minta yang ketiga? Bukankah aku telah mengatakan kepadamu jangan kecewa dengan apa yang terlepas darimu? Dan janganlah engkau percaya terjadinya peristiwa yang tidak mungkin terjadi? Aku, buluku dan dagingku beratnya tidak sampai 20 mitsqal!” Lantas Qunburah pun terbang dan pergi.” (dalam kitab Al Adzkiya`, hal. 242).
Keledai Tuma dan Pemiliknya
Bahkan dalam disiplin ilmu, para ulama sering kali menjadikan kisah-kisah sebagai sarana untuk menjelaskan sebuah definisi. Misalnya, dalam ilmu ushul fiqih, para ulama menggunakan kisah keledai Tuma, dalam membedakan antara jahl basith (ketidaktahuan yang sederhana) dengan jahl murakkab (ketidaktahuan yang majemuk).
Hal ini seperti dilakukan oleh Syihabuddi Ahmad Al Hamawi Al-Hanafi, di mana ia menyampaikan, ”Telah berkata keledai bijak Tuma, kalau mereka adil kepadaku maka aku yang menaiki. Karena pada diriku jahl basith namun pada yang menunggangiku jahl murakkab.’” (dalam Ghamz Uyun Al Bashair fi Syarh Al Asybah wa An Nadza`ir, 1/33).
Kumpulan Kisah Kalilah wa Dimnah
Buku Kalilah wa Dimnah terdiri dari kumpulan kisah yang menjadikan hewan-hewan sebagai tokohnya. Buku itu berasal dari penulis India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibnu Al Muqaffa`.
Para ulama banyak yang membaca dan mengambil manfaat dari buku kumpulan kisah ini. Khatib Al Baghdadi manyampaikan, bahwa Abu Al Abbas Ad Daghwali berkata, ”Selalu bersamaku empat jilid buku, baik ketika bermukim di negeri maupun ketika bersafar, yakni kitab Al Muzani, kitab Al `Ain, kitab At Tarikh karya Al Bukhari serta kitab Kalilah wa Dimnah.” (dalam Taqyid Al Ilmi, 1/140).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Al-Qadhi Abu Ya`la juga mengambil hikmah dari kitab Kalilah wa Dimnah, di mana ia berkata, ”Telah berkata penulis Kalilah wa Dimnah, ’Tiga perkara yang tidak akan selamat karenanya kecuali sedikit: Berkarib dengan penguasa, dan mempercayakan rahasia kepada perempuan, serta meminum racun dalam rangka mencobanya.’” (Rusul Al Muluk, hal. 199).
Imam Al Mawardi juga termasuk ulama yang mengambil faidah dari Kalilah wa Dimnah, di mana ia berkata, ”Telah berkata penulis Kalilah wa Dimnah, ’Penuntut dunia seperti peminum air laut, setiap ia memperbanyak minum maka ia semakin kehausan.’” (Adab Ad Dunya wa Ad Dien, 1/113).
Sedangkan Ibnu Abdi Al Barr juga berkata, ”Dalam kitab Kalilah wa Dimnah, kecerdasan adalah kemampuan dalam membedakan antara yang ada dan yang tidak ada.”’ (dalam Buhjah Al Majalis, hal. 117).
Boleh Menulis Kisah-kisah Fiktif
Ketika para ulama menyatakan bahwasannya kisah-kisah fiksi tentang hewan merupakan perumpaan atau tasybih, dan tidak termasuk perbuatan bohong maka para ulama pun membolehkannya. Salah satu di antara mereka adalah Syeikh Athiyyah Shaqr, salah satu ulama besar Al-Azhar, di mana ia berkata, ”Tidak mengapa menulis cerita fiksi atau puisi fiksi jika tujuannya baik, dan untuk melawan keburukan. Hal itu seperti kisah-kisah dari lisan hewan-hewan di buku Kalilah wa Dimnah.
Maka patokannya adalah tidak mendustakan perkara-perkara yang telah baku, khususnya dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan dalam dien (agama). Serta tujuannya bukan untuk keburukan, atau berdampak menuju keburukan. Dalam Islam, tidak ada pihak yang menimpakan kerugian kepada pihak lain juga tidak membalas kerugian dengan kerugian. (dalam Mausu`ah Al Fatawa Al Mu`ashshalah, 5/482, 483).*/Thoriq, LC, MA