Hidayatullah.com | KALAU ada yang bilang bahwa sebenarnya tidak susah mengatur atau memerintah di negeri ini, itu sah-sah saja dan tidak perlu terlalu diperdebatkan. Sebab hal seperti ini amat tergantung pada sudut pandang.
Reaksi yang sama juga sebaiknya kita lakukan pada sebagian kalangan yang memandang betapa rumitnya menjadi Penguasa atau memerintah di Negeri yang mengusung motto Bhineka Tunggal Ika ini. Keragaman memang di satu sisi bisa dimaknai sebagai kekayaan sumber daya, pun sering didentifisir sebagai potensi gesekan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an memberi pedoman:
*يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ*
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Al Qur’an, Surat Al-Hujuraat, ayat 13).
Sehingga seharusnya sebagai kondisi objektif, apalagi bangsa ini yang mayoritas Muslim, kita mesti melihatnya sebagai wacana saling mengenal. Dari sisi Pemerintah pun tak boleh dimaknai sebagai sesuatu yang krusial, inilah Sunnatullah dan kita pasti bisa bisa mengelolanya dengan arif dan bijaksana.
Artinya rumit atau tidak itu amat tergantung pada niat dan tekad yang harus dipancangkan sejak awal, bukan tergantung pada besar dan kecilnya masalah yang mencuat dan ingin ditangani. Niat dan tekad terlahir sejak awal pada hati, tentu tidak serta merta, karena cuma hati yang bersih akan selalu mampu menangkap tantangan sebagai peluang, kesulitan sebagai dinamika dan perbedaan pendapat sebagai seni dalam diskusi.
Cara berpikir yang positip akan membimbing kita pada meyakini setiap pribadi dan orang lain memiliki potensi yang berbeda-beda. Rakyat memang perlu difahamkan bahwa mengurus sebuah negeri dengan tingkat kemajemukan yang luar biasa, sangat perlu kehati-hatian.
Tetapi di saat yang bersamaan rakyat pun harus bisa menangkap signal tentang betapa seriusnya Pemerintah dalam mengelola dan menyelesaikan setiap persoalan yang mengemuka.
Kehati-hatian tidak boleh diidentikkan dengan hal-hal yang terindikasi lamban atau kurang serius. Atau, malah dijadikan sebagai excuse (alasan pemaaf), agar selalu tercipta semacam alasan dan peluang untuk alibi bahwa masyarakat mesti memberi permakluman
Bahkan Taqwa sebagai tuntutan utama dalam Dien, untuk agar seseorang menjadi yang paling mulia disisi-NYA, tak akan terwujud jika kita menafikan kehati-hatian sebagai pilar utamanya. Begitulah yang kita tangkap dalam dialog antara Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dengan Sahabat Ubay bin Ka’ab, yang mengibaratkan takwa sebagai berjalan di tempat yang banyak duri.
Hati-hati adalah lawan kata dari tergesa-gesa, suatu sifat dan kebiasaan yang melekat pada setan. Kepercayaan sebagai sarat utama dalam pengelolaan amanat, apalagi menyangkut dan menyinggung perasaan terdalam sebuah bangsa, harus dibuktikan dengan langkah terukur, bukan janji-janji.
Rakyat amat faham dan cerdas untuk akhirnya bisa menyimpulkan seriuskah Pemerintah dalam menangani berbagai persoalan bangsa. Misalnya dalam pemilihan dan pengangkatan pejabat terkait, kompetensi jelas mutlak, tetapi jika kemudian diujungnya terbukti memiliki kredibilitas moral yang rusak, tidak jujur, temperamental, sungguh patut ditengarai bahwa sejak awal tidak didasari kriteria yang transparan.
Penjelasan pemerintah pun harus jelas dan tegas, tidak berbelit dan bertele-tele, apalagi kemudian berubah-ubah. Rakyat tidak boleh merasa dibohongi, sebab pemerintah pun tidak punya alasan untuk berbohong, kecuali memang punya agenda lain diluar mensejahterakan rakyat.
Mengawali dan mengakhiri sebuah jabatan adalah dua sisi dari mata uang yang sama, sebuah keniscayaan. Tidak boleh ada dusta ketika mengawali dan terlalu naif jika lalu ada yang merasa telah dikhianati.
Rakyat tidak akan pernah lupa siapa yang pernah dipilihnya, atau kepada siapa amanat pernah dititipkan, Pileg dan Pilpres akan terasa hambar jika cuma dimaknai sekedar pemenuhan kewajiban konstitusional, itulah proses pendewasaan sebuah bangsa, timbang terima amanah dan pada gilirannya akan juga dipertemukan di Yaumil Hisab.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al Qur’an, Surat Al-Anfaal, ayat 27).*/ Hamid Abud Attamimi