Oleh: Sholih Hasyim
Sambungan artikel PERTAMA
Sesungguhnya anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Penataan ulang ruhani dan kepribadiannya sangat tergantung peran, partisipasi (pendampingan) dan kontribusi orang-orang terdekatnya.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi (HR. Bukhari). Fitrah hadits disini adalah Islam, karena potongan kalimat terakhir menyebutkan agama.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda: “Orang yang terbaik dari kalian adalah orang yang paling baik dalam memperlakukan keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dalam memperlakukan keluargaku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Merujuk taujih nabawi diatas, peran orang tua adalah pemimpin. Yang fungsional melakukan sikap ngayahi (mengurus urusannya), ngopeni (merawat), ngayomi (melindungi), ngajeni (menghargai), terhadap anaknya. Karena hisab di akhirat tidak mudah dan tidak sederhana. Jika kita gagal, urusannya bisa panjang dan berbelit-belit.
Lingkungan sosial juga ikut mempengaruhi pembentukan karakter anak. Yaitu sekolah pertama (keluarga), Sekolah kedua (pendidikan formal). Sekolah ketiga (tokoh masyarakat). Sekolah keempat (media sosial).
Halaqah Keluarga
Sesungguhnya waktu kita sangat pendek untuk membangun kedekatan komunikasi dengan anak. Sejak pada fase di alam ruh (alam arwah), di alam rahim berupa janin, fase menjadi bayi (shoby), fase menjadi anak-anak (thifl), fase menjadi remaja (murahiq). Pada fase menjadi dewasa (kuhulah) dan syaikh (usia 40 tahun keatas), mereka sudah sibuk dengan urusan mereka sendiri. Kemungkinan besar mereka tidak bersama kita lagi. Mereka terbebani dengan tugas dan tanggungjawab keluarga, dan peran-peran sosialnya. Frekwensi pertemuan dengan kita tidak seintensif dahulu. Mungkin pula, memori mereka dengan kita tertutup dan terhalangi oleh kesibukan mereka. Hanya saja, kita sebagai orang tua sulit melupakan mereka. Doa dan munajat kita mengiringi perlangkahan kehidupan mereka. Jarak yang saling menjauh, tidak memisahkan ikatan hati kita. Jauh dimata, dekat di hati.
Jika waktu yang demikian singkat, kita kelola dengan baik, nilai-nilai kehidupan dan amal shalih berhasilkan kita wariskan, berarti kita menjadi orang tua yang sukses. Ikatan batin kita berlanjut ke negeri akhirat. Semoga Allah memberkahi kita dan anak keturunan di dua perkampungan (barakallhu lana wa lizurriyyatina fid darain).
Itulah sebabnya, para salafus shalih memiliki halaqah keluarga (halaqatul bait). Disamping berfungsi untuk melakukan tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu-ilmu agama), tadib (penanaman adab), pula tarbiyah dan takwin (pendidikan dan pembentukan kepribadian), tanzhim (penataan potensi), tamkin (penugasan untuk memenangkan misi khusus), dan tasyji’ul infaq (menggerakkan infak).. Halaqah inilah sistem pendidikan pertama umat Islam pertama.
Jika kita shalih, sesungguhnya harta pusaka kita baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, akan dijaga oleh Allah dengan menugaskan manusia pilihan-Nya. Insya Alloh. Bahkan, istri dan keturunan kita yang shalih akan dipertemukan oleh Allah dalam acara reuni di surga, InsyaAllah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَأَمَّا ٱلۡجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيۡنِ يَتِيمَيۡنِ فِي ٱلۡمَدِينَةِ وَكَانَ تَحۡتَهُۥ كَنزٞ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحٗا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبۡلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسۡتَخۡرِجَا كَنزَهُمَا رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلۡتُهُۥ عَنۡ أَمۡرِيۚ ذَٰلِكَ تَأۡوِيلُ مَا لَمۡ تَسۡطِع عَّلَيۡهِ صَبۡرٗا ٨٢
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS: Al Kahfi (18) : 82).
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath Thur (52) : 21).
Sebaliknya, jika kita gagal mewariskan nilai-nilai qurani terhadap mereka, maka kita akan dijadikan “sasaran kutukan” di kemudian hari.
Firman Allah;
وَقَالُواْ رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۠ ٦٧ رَبَّنَآ ءَاتِهِمۡ ضِعۡفَيۡنِ مِنَٱلۡعَذَابِ وَٱلۡعَنۡهُمۡ لَعۡنٗا كَبِيرٗا ٦٨
Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) 68. Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. Al Ahzab (33) : 67).* (bersambung)
Penulis tinggal di Kudus, Jawa Tengah