Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Kerusakan akhlak
Masih terkait dengan konsep adab, pada 19 Mei 2016, saya mendapat kesempatan untuk mengisi seminar tentang Psikologi Islam di Universitas Negeri Makasar. Acara ini disertai juga dengan pelantikan pengurus Asosiasi Psikologi Islam (API) Makasar, dilakukan oleh Dr. Bagus Riyono, dosen psikologi UGM Yogyakarta.
Saya diminta membahas tentang kerusakan moral di Indonesia dan solusinya. Maka, pada kesempatan yang sangat berharga tersebut, saya kembali menawarkan perlunya diberlakukan pendidikan adab (ta’dib) di Indonesia agar berbagai krisis moral yang sedang mendera bangsa kita bisa teratasi dengan mendasar dan sistematis. Apalagi, seminar itu berlangsung di kampus yang dulunya dikenal sebagai IKIP Makasar.
Bidang keilmuan psikologi bisa dikatakan menempati posisi strategis untuk mengatasi perbagai persoalan bangsa secara mendasar. Sebab, nilai seorang manusia ditentukan oleh jiwanya. Kerusakan moral atau akhlak terjadi karena kerusakan jiwa. Benahilah jiwa manusia, jika ingin memperbaiki akhlaknya. Pendidikan akhlak tidak bisa dilakukan dengan model pengajaran biasa. Akhlak harus ditanamkan ke dalam diri manusia dengan cara yang benar dan penuh hikmah. Itulah yang disebut sebagai bentuk penanaman adab (inculcation of adab).
Sukses tidaknya penanaman nilai adab sangat tergantung kepada faktor guru, niat dan kesungguhan siswa, serta metodenya. Islam mempunyai konsep dan metode penanaman nilai adab yang kokoh dan teruji dalam sejarah. Sebagian konsep itu telah dilaksanakan oleh sebagian negara dalam bentuk pendidikan karakter. Kita bisa melihat kisah sukses berbagai negara dalam menerapkan pendidikan karakter. Kesuksesan pendidikan karakter ditentukan faktor keteladanan, pembudayaan/pembiasaan, dan penegakan aturan.
Berbeda dengan pendidikan karakter sekuler, penanaman nilai-nilai adab harus dilakukan dengan berbasis keimanan. Seorang warga sekuler takut buang sampah sembarangan karena kebiasaan dan takut melanggar aturan. Seorang siswa muslim tidak mahu membuang sampah sembarangan karena bisa berakibat hukuman di Akhirat; bukan hanya karena kebiasaan dan takut aturan. Karena itulah, saya mengusulkan, agar para pakar psikologi Islam merumuskan konsep pendidikan jiwa untuk menghasilkan manusia-manusia beradab. Jangan sampai psikologi Islam terjebak sibuk pada urusan seminar dan penerbitan karya ilmiah, tanpa mempraktikkan konsep-konsep pembinaan jiwa (tazkiyatun nafs) untuk membentuk manusia beradab atau manusia baik.
Pada kesempatan seminar tersebut, muncul sejumlah pertanyaan. Seorang sarjana Fisika bertanya, apakah dia boleh melanjutkan pendidikan jenjang magister di bidang psikologi Islam. Pertanyaan seperti ini masih sering muncul, karena pemahaman tentang “linierisme” yang masih meluas. Saya menjelaskan perlunya kita memahami konsep dan adab ilmu dalam Islam. Bahwa, seorang muslim wajib mencari ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah secara proporsional. Jenjang pendidikan linier diperlukan untuk urusan administrasi dan mungkin keperluan profesionalitas di suatu bidang tertentu. Ini bisa bersifat mubah, sunnah, atau fardhu kifayah. Tapi, ilmu yang fardhu ain wajib dikejar untuk diraih.
Sebagai contoh adalah ‘ilmu psikologi Islam’. Ilmu ini wajib dicari setiap muslim, agar setiap muslim memahami, bagaimana dia bisa membersihkan jiwanya agar menjadi jiwa yang tenang. Sebab, QS asy-Syams menjelaskan, sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya. Inilah pendidikan jiwa yang wajib ditanamkan secara sistematis dan sungguh-sungguh dalam diri setiap insan. Jika pemerintah saat ini mengajukan konsep revolusi mental, sejatinya Islam mempunyai konsep yang sangat jitu dan jelas dalam membangun jiwa manusia.
Pendidikan adab dalam Islam bertujuan membentuk manusia beradab jiwa dan raga. Konsep inilah yang telah berhasil mengubah bangsa Arab menjadi bangsa paling unggul di zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Sebagai contoh adalah konsep adab kepada sesama manusia. Menurut Islam harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia. Misalnya, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya. Bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut al-Quran.
Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya. Imam Syafii dalam sejumlah syairnya berkata: Wa’lam bi-anna al-ilma laysa yanaaluhu, man hammuhu fi math’amin aw malbasin. (Ketahuilah, ilmu itu tidak akan didapat oleh orang yang cita-cita hidupnya hanya untuk makanan dan pakaian); Falaw laa al-ilmu maa sa’idat rijaalun, wa laa ’urifa al-halaalu wa laa al-haraamu. (Andaikan tanpa ilmu, maka seorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan tidak dapat mengetahui mana halal dan mana haram).
Umat Islam dan bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi umat dan bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini. Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia.
Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala.
Demikianlah catatan tentang pentingnya pendidikan adab yang saya sampaikan dalam khutbah Jumat di MK dan seminar tentang psikologi Islam di Universitas Negeri Makasar. Semoga bermanfaat.*/Makassar, 20 Mei 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com