BAGI yang menelaah perjalanan hidup Nabi Muhammad Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam beserta sahabatnya pada bulan Ramadhan, maka etos perjuangan mereka terlihat semakin meningkat tajam. Bukan berarti di luar bulan Ramadhan mereka malas, tapi pada bulan Ramadhan, perjuangan meningkat menjadi dua kali lipat. Makanya, tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk bermalas-malasan dengan dalih lemas, haus, dan lapar karena semua itu memang lazim dialami bagi siapa saja yang berpuasa di bulan suci ini, selama bukan dalam uzur syar’i.
Sejenak kita melihat sejarah. Ramadhan pertama (2 H) mereka lalui dengan Perang Badar Kubra yang cukup menguras perhatian dan tenaga. Walhasil, atas rahmat Allah Subhanahu Wata’ala, mereka berhasil menjadi jawara.
Pada bulan Ramadhan, sebelum perang Khandaq (5 H) pun, mereka juga berjuang sedemikian rupa untuk menggali parit. Pada akhirnya, perang fenomenal yang terjadi pada bulan Syawal ini berakhir dengan kemenangan gemilang. Demikian juga peristiwa Pembebasan Mekah (8 H), mereka berbondong-bondong berjuang dalam momentum Ramadhan. Perjuangan ini berakhir manis. Mekah bisa dibebaskan tanpa pertumpahan darah. Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan bahwa bulan puasa adalah momentum terbaik untuk meningkatkan etos perjuangan.
Di luar bulan puasa pun mereka tetap energik. Kisah menarik Abdullah bin Rawahah RA pada saat Perang Mu’tah (8 H) bisa dijadikan teladan. Pada waktu itu, beliau adalah salah seorang sahabat yang dipilih menjadi komando ketika Ja’far bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah gugur di medan tempur.
Menariknya, dalam kondisi perang yang begitu mencekam, sahabat yang merupakan penyair muslim kondang ini dalam kondisi berpuasa. Pasca gugurnya dua panglima (Zaid dan Ja’far), ia langsung mengambil alih bendera perang memimpin perlawanan.
Sebelum memulai perang kembali, beliau bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah matahari sudah terbenam?” “Ya,” jawab mereka serempak. Kemudian sahabat yang ikut dalam Perjanjian ‘Aqabah ini berdoa lalu berbuka dengan satu suapan daging.
Baca: “Mumpung Belum 10 Terakhir Ramadhan, Kejar Lailatul Qadr dengan Doa”
Dikunyahlah makanan tersebut. Namun, apa yang masuk dalam mulutnya, sama sekali tak ada rasa. Bagaimana mungkin ia bisa merasakan nikmanya makanan pada saat kedua panglima gugur di medan juang. Akhirnya makanan itu dimuntahkannya, lalu bergegas mengambil sebilah pedang dan segera memimpin perjuangan.
Sebelum dimulai, sahabat yang berasal dari kabilah Anshar ini menatap ke langit sembari membaca sya’ir:
Aku bersumpah wahai jiwaku, kamu pasti turun di medan laga
Kamu pasti turun walau kamu tak menyukainya
Jika orang-orang berteriak, berkumpul dengan suara tangis
Aku tidak melihatmu membenci surga
Sudah lama kamu dalam kondisi tentram
Kamu hanyalah seperti seteguk air jernih di tempat minum yang akan sirna. (Ibnu Hisyam, 1375: II/379).
Setelah menyenandungkan syair, dengan tangkas beliau berjuang di medan laga, hingga syahid di jalan Allah SWT. Beliau menutup usianya dengan husnul khatimah (akhir yang baik). Kisah ini menunjukkan bahwa puasa tidak menghalangi seseorang untuk meningkatkan etos perjuangan.
Di bumi Nusantara juga pernah terjadi demikian. Dalam pertempuran di Cijoho, tentara Siliwangi melawan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada hari kedua bulan puasa tahun 1946. Mereka tetap berjuang dengan etos tinggi walau nyawa taruhannya. Peristiwa ini terjadi dalam bulan Ramadhan. Pada hari keempat, terjadilah pertempuran dahsyat melawan pasukan Belanda. Begitu hebatnya, sampai-sampai terpaksa perlawanan dilakukan secara “man to man”. (Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya, 1991 : 186).
Sebagai penutup, petikan sajak-sajak yang dibuat oleh ulama Aceh pada momen perjuangan melawan Belanda yang dikenal dengan sebutan HPS (Hikayat Perang Sabil) ini bisa dijadikan pelajaran berharga bahwa puasa bukan penghalang orang untuk meningkatkan etos perjuangan:
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil dan besar
Tua, muda, pria dan wanita
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang
(Ibrahim Alfian, 1987: 113). Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan