Hidayatullah.com– Ramadhan sebagai tamu agung benar-benar luar biasa, ia tidak saja menyediakan ampunan, rahmat, dan karunia Allah yang luar biasa. Tetapi juga mendorong manusia mudah untuk taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan mengajarkan kehati-hatian.
Segala hal diatur sedemikian rupa dalam hal menjaga agar kualitas dan keabsahan puasa terjamin. Orang yang puasa tapi tidak berhenti dari maksiat, maka ia hanya mendapatkan lapar dan haus.
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath-Thabrani)
Lebih-lebih, orang yang berpuasa tetapi tetap membela kebathilan dan kecurangan, tentu semakin jauhlah ia dari hakikat dan makna serta tujuan disyariatkannya puasa itu sendiri.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)
Jadi puasa bukan semata soal tidak makan dan tidak minum, tetapi bagaimana seluruh anggota tubuh kita tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu, apalagi hal-hal yang dapat merusak hati dan pikiran.
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus :
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.”
Oleh karena itu penting dipahami bahwa Ramadhan Allah hadirkan sejatinya adalah kasih sayang-Nya agar mudah bagi kita mendekat kepada Allah dan berhati-hati bahkan menjauh dari maksiat.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul serta berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat) dengan jelas.” (QS. 5: 92)
Apa yang dimaksud dan berhati-hatilah tiada lain adalah menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat.
Maksiat itu tentu saja yang terutama seperti yang termaktub dalam ayat sebelumnya, yakni ayat 90 dan 91 berupa pelarangan minum minuman keras dan judi.
Semua maksiat itu hanya akan membinaskan diri sendiri. Sebaliknya, ketaatan kepada-Nya memberikan manfaat bagi diri kita.
Selain itu kita harus takut kepada-Nya atas akibat perbuatan maksiat kita. Ayat ini menyebutkan kita jangan menyangka bawa mengabaikan hukum Allah berarti kita telah memukul telak Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini karena Rasulullah hanya penyampai risalah Allah. Sementara melakukan perintah Allah tidak memberikan manfaat kepada-Nya dan dengan meninggalkannya tidak akan mendatangkan kekuatan pada Allah.
Dengan kata lain betapa bodoh orang yang mengaku beriman, ikut berpuasa, tetapi tidak berhati-hati terhadap maksiat dan dosa. Lebih-lebih yang secara terbuka tidak puasa karena merasa tidak ada siksaan apa-apa dalam hidupnya.
Perlu dicatat, sebagaimana tumbuhan berproses untuk terus berkembang, seperti itulah perbuatan manusia. Lambat laun akan bertemu dengan masa dimana semua akan bertemu dengan akibat paling puncak. Jika kebaikan, maka maksimal keadaannya. Jika kemaksiatan, maka luar biasa derita yang akan dialami. Untuk itu, berhati-hatilah.* Imam Nawawi