Hidayatullah.com– Aktivis beretnis Tionghoa, Zeng Wei Jian alias Ken Ken, menyindir kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.
“Yang tidak bisa kita tolerir adalah masalah penistaan agama, dalam hal ini Surat Al-Maidah ayat 51,” ujar pria penganut Buddha ini saat ditemui hidayatullah.com, Senin (31/10/2016).
Ken Ken menyampaikan itu usai mengikuti pertemuan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI di markas FPI, Jl Petamburan III, Jakarta Barat.
Menurut Ken Ken, dari sikapnya Ahok tidak patut dibilang sebagai pemimpin yang baik. “Ahok minim prestasi,” ujarnya.
“Kebijakan-kebijakannya juga sangat antagonis terhadap orang miskin, orang kecil. (Ahok) sangat pro pengembang,” lanjut pengusaha kelahiran Jakarta ini.
Terkait kasus Ahok yang menyinggung Al-Maidah, Ken Ken mengatakan, penistaan agama tidak bisa dibiarkan di Indonesia.
“Ini bukan persoalan umat Islam (semata). Tapi masalah bangsa (juga),” ujarnya, seraya menegaskan, penistaan terhadap agama apapun di negeri ini tidak dibenarkan.
Untuk diketahui, sejak tanggal 28 Oktober 2016, Ahok berstatus sebagai gubernur non-aktif karena maju sebagai petahana pada Pilkada DKI 2017.
“Sovinisme Tionghoa”
Selama ini, Ken Ken kerap menyoroti Ahok khususnya melalui berbagai tulisan di akun Facebook-nya, Zeng Wei Jian. Ia mengaku dulu sempat akrab dengan Ahok.
Senin kemarin, sejumlah tokoh dan penggerak GNPF MUI mengapresiasi tulisan-tulisannya di media sosial tersebut.
“Mantap tulisannya,” ujar Ustadz Zaitun Rasmin yang juga Wakil Sekjen MUI kepada Ken Ken usai pertemuan itu.
Ditanya hidayatullah.com soal tulisan apa yang dimaksud, Ken Ken tidak tahu pasti judulnya karena banyak yang sudah ditulis. Terakhir, katanya, ia menulis dengan judul “Sovinisme Tionghoa”.
Ahok, Gubernur Pertama Etnis Tionghoa, Dinilai Pejabat Paling Sombong Perkataannya
Tulisan ini diunggah pada tanggal 29 Oktober 2016. Berikut salinannya:
SOVINISME TIONGHOA
by Zeng Wei Jian
Netizen Laras Puguh bertanya, “apa tidak ada gerakan etnis Tionghoa sebagai bentuk solidaritas terhadap umat Muslim untuk tanggal 4 November?”
Sebenarnya, ngga ada juga solidaritas dari “majelis ulama” agama lain semisal KWI, PGI, WALUBI dan Parisada Hindu Dharma.
Padahal, penistaan agama (apa saja) adalah tindak kriminal. Tidak boleh ada di republik ini.
Khusus menyoal komunitas Tionghoa, memang ada semacam setback atau blunder persepsi. Sifatnya negatif.
Pasca Ahok berkuasa, terasa benar ada eforia lupa diri. Memang, lapisan tengah pengusaha etnis Tionghoa tidak pernah punya sejarah melawan gubernur. Sewaktu Sutiyoso membombardir becak dan menggusur warga, pengusaha Tionghoa juga diam saja. Tabiat pengusaha adalah menjilat penguasa. Watak ini inherent. Tidak bisa nggak.
Tema SARA mestinya berhenti saat Jokowi-Ahok terpilih. Namun anehnya, pasca Ahok menjadi gubernur, sentimen rasis ini justru menguat. Ditriger oleh Ahok sendiri. Didukung Nusron Wahid. Diamini 70% orang Tionghoa dan 95% orang Kristen. Mereka inilah yang sebenarnya rasis.
Sentimen rasialis itu ternyata juga diderita kalangan haute capitalis (konglomerat). Itu bisa dilihat dari dukungan masif capital flow membangun infrastruktur, pencitraan Ahok dan pembentukan tim relawan. “Mass media dibeli”. Semua itu tidak terjadi ketika Bang Yos dan Foke berkuasa. Ini indikator betapa rasisnya para taipan itu.
Orang-orang ini lupa diri. Arogansi bikin mereka tampak jadi inhuman. Dukungan membuta kepada sosok inkompeten seperti Ahok adalah disaster. Ini penghianatan terhadap perjuangan para pendahulu.
Namun, Tionghoa sama seperti komunitas lain. Ada yang baik, ada yang rasis. Sewaktu era kemerdekaan, Liem Koen Hian (Partai Tionghoa Indonesia) berhadapan dengan kelompok Chung Hwa Hui yang pro Belanda.
Ahok, Kecelakaan Sejarah’ dan ‘Misrepresentasi’ Imej Tionghoa di Indonesia
Di era Orde Lama, Tionghoa pecah dalam perkubuan. Kelompok pro komunis Sukarno (BAPERKI) dominan berkontradiksi dengan kelompok Tionghoa pro Amerika dan Kristen (CSIS Pater Beek).
Pertarungan ideologis selesai di era Orde Baru. Tionghoa konglomerat merapat di sekitar Pa Harto. Mereka patuh dan ngga neko-neko. Duel terselubung terjadi antara kelompok “peranakan” vs Singkek.
Tumbangnya Pa Harto berarti tidak ada lagi “orang kuat” tunggal.
Keturunan taipan berpesta pora. Tidak ada lagi yang mereka takuti. Mereka berusaha menguasai arena politik. Kekuatan finansial mereka memungkinkan itu. Mereka menemukan puncak momentum di pasangan Jokowi-Ahok. Ada grand scenario membabi-buta hendak menjadikan Ahok sebagai “wapres” masa depan. Pembenaran politis mereka adalah “Obama Factor”.
Ada semangat rasis dan sovinis terselubung di sini.
Padahal, Han (Chinese) Chauvinism dikecam Chairman Mao Zedong tahun 1956. Konstitusi RRT juga menegaskan, “it is necessary to combat big chauvinism, mainly Han chauvinism, and to combat local nationalist chauvinism.”
Semangat anti superioritas etnik itu terus dikecam pasca Mao. Comrade Deng Xiao Ping kerap mengingatkan agar Tionghoa berlaku santun. Gema warning ini beresonasi sampai era Presiden Hu Jin Tao.
Xi Jinping mengulang kembali wasiat itu dalam doktrin “Chinese Dream”-nya. Dia bilang, “Ethnic unity is the lifeline of Chinese people of all ethnicities and to protect it we should stand firmly against great Hanism and ultra-nationalism.”
Namun alas, para pengusaha Chinese punya watak berbeda dari kaum gentry (terpelajar).
Belakangan Han Chauvinis bangkit di kalangan bisnismen Chinese yang beroperasi di Central Asia: Kazak, Kirgiz dan Tajik. Mereka tidak menghormati keadaban lokal. Rupa-rupanya, penyakit psikologis itu merambah pengusaha Chinese Indonesia pula.
Saking edannya, seorang taipan pernah mencibir Pak Kwik Kian Gie. Dia bilang, apa jasa KKG buat Tionghoa. Sewaktu KKG menjadi Menko Ekuin, dia ngga berbuat apa-apa buat Tionghoa.
Begitu kata si taipan pro ahok. Saya heran, Dan sebenarnya hendak bertanya, memangnya Pa Kwik dulu itu Menteri Percinaan or what? Si taipan bole tajir, tapi menurut saya dia dungu dan rasis.
Saya jadi paham mengapa Pa Harto membatasi ruang gerak etnik Tionghoa di arena politik. THE END.*