BAGI ibu hamil, menunggu kelahiran itu merindu ke-syahid-an, seperti kematian yang tiada tahu kapan datang menjemput. Proses menuju kelahiran buah hati adalah keniscayaan yang harus dijalani dengan ketaatan.
Persalinan normal atau Operasi Caesar (OP), selama dia berusaha normal namun pada akhirnya tak bisa, keduanya penuh perjuangan yang bisa mempertaruhkan nyawa, merobek jiwa dan penuh derai air mata.
Tidak seharusnya salah satu pihak mengklaim bahwa yang dikatakan ibu sesungguhnya adalah yang melahirkan buah hatinya melalui persalinan normal sedangkan yang melahirkan OP direndahkan kodratnya sebagai perempuan.
Pada dasarnya tentu setiap perempuan ingin melalui proses sebagaimana mestinya, lewat jalannya. Akan tetapi kadangkala memang kenginan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana peribahasa: “Asing maksud, asing sampai” (tidak sesuai dengan yang diharapkan).
Sebagai contoh rill: perempuan muda yang sedari awal penuh tekad berkeinginan kuat melahirkan normal, sejak kehamilan muda melakukan banyak hal mulai dari mengatur pola makanan sedemikin rupa, menjaga ‘kewarasan’ agar senantiasa bahagia disaat mual, ngidam mendera dan hormon yang tak menentu membuat mood seringkali berubah-ubah: kadang marah tanpa sebab, menangis merasa kurang perhatian sang calon papa dan sebagainya.
Sampai diujung trisemeter ketiga melakukan senam hamil dan teknik pernafasan. Dan ketika waktunya tiba, pintu mulai terbuka, gelombang cinta telah datang dan kian tinggi menerjang, sampai dipembukaan 7-8 calon ibu itu kehabisan daya dan upaya, tubuhnya menjadi lemah tak berdaya sedangkan air ketuban telah pecah dari beberapa jam sebelumnya. Lalu, disinilah takdir bercerita bahwa semuanya memang telah tertulis (harus menjalani OP).
Mari sejenak membayangkan, meski ini bukan perkara melahirkan, bagaimana Maryam yang merupakan gadis taat dan pandai menjaga kehormatan diri harus hamil –atas takdir Allah— tanpa hubungan suami istri.
Padahal, sebagaimana gadis lain, bisa jadi ia ingin melahirkan anak dari hubungan keluarga yang normal. Bagi yang membaca ceritanya dalam al-Qur`an, puteri Imran ini merasa aneh dan sanksi dengan hal itu. Namun, itu adalah keniOPayaan yang harus dijalani dengan penuh ketaatan. Kemudian lahirlah, nabi Isa ‘Alahissalam. Anak saleh luar biasa yang belum tentu bisa dilahirkan dengan hamil secara normal. Lagi-lagi itu sudah ketentuan-Nya.
OP, menjadi momok menakutankan bagi sebagian perempuan namun disisi lain juga menjadi celaan atas dasar pembelaan yang tidak berprikemanusiaan.
OP, memang seringkali menjadi pilihan bagi sebagian lainnya dengan alasan kenyamanan tertentu tapi tetap tidak bisa dilepaskan dari suatu keadaan medis yang mempengaruhi kesehatannya atau bayi dalam kandungan.
Lain lagi dengan seorang perempuan yang harus menelaan pil pahit dari dokter bahwa dirinya dikatakan sulit melakukan persalinan normal karena kesehatannya yang tidak memungkinkan dan keadaan bayi di dalam kandungan yang tengah terancam. Pada hari itu juga saat kontrol di RS. Setelah uji laboratorium dan sebagainya, dokter mewajibkan rawat inap dan melakukan tindakan medis berupa OP.
Air mata sudah bercucuran, perasaan sudah tak karuan, tidak ada jalan pilihan, maka dijalaninya dengan ketaatan di usia kandungannya yang baru memasuki 36 minggu. Segala persiapan telah dilakukan, masuk ke ruang operasi calon ibu ini merasa berkeinginan kuat untuk mengejan dan sekuat yang ia mampi dilakukan. Qadarullah (atas takdir Allah), bayi itu lahir normal di ruang operasi.
Mari kita renungi bersama bahwa proses kelahiran itu, OP vs normal keduanya adalah jalan perjuangan seorang perempuan demi melahirkan makhluk Allah swt ke dunia, tentu sebuah kemuliaan yang luar biasa. Tidak ada pengecualian. Tetaplah berpikir positif dan berilah dukungan kepada para perempuan-perempuan yang tengah hamil dan bersiap melahirkan, apapun jalannya, perempuan tetaplah ibu atau calon ibu hebat untuk putra-putrinya.
Keduanya –baik OP maupun normal—jika pada akhirnya merenggut nyawa sang ibu, maka insyaallah akan menjumpai kemuliaan syahid di jalan Allah. Bukankah nabi pernah bersabda:
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Abu Daud).*/ Ummah Kaffah