Hidayatullah.com– Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Prof M Din Syamsuddin, mengatakan, kepergian Almarhum Prof Yunahar Ilyas ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala adalah duka bagi segenap keluarga besar Muhammadiyah dan MUI.
“Kewafatannya bukan saja merupakan kehilangan bagi keluarga besar kedua organisasi itu, tapi juga bagi umat Islam Indonesia dan Dunia Islam. Almarhum adalah salah seorang ulama Indonesia yang ikut berkiprah di dunia, khususnya di forum Liga Muslim Sedunia (Rabithat al-‘Alam al-Islamy) yang berpusat di Makkah,” ujar Din dalam pernyataan tertulisnya diterima hidayatullah.com Jakarta, Sabtu (04/01/2020).
Din menuturkan, di Muhammadiyah, almarhum Yunahar merupakan kader sejak aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan kemudian di PP Muhammadiyah sejak tahun 2000.
“Beliau merupakan figur ulama yang memiliki wawasan pengetahuan keislaman yang luas. Kemampuan Bahasa Arab yang dimilikinya memungkinkan Almarhum mampu memdalami sumber-sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta literatur-literatur keislaman klasik maupun modern,” tuturnya.
Baca: Wamenag: Buya Yunahar Ulama yang Teguh Memegang Kebenaran
Fokus perhatian Yunahar pada tafsir, lanjut Din, menjadikannya seorang pakar tafsir yang mumpuni. Hal ini ikut mewarnai penulisan Tafsir Al-Tanwir yang merupakan salah satu produk monumental Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
“Selain seorang ulama, Almarhum Yunahar Ilyas adalah seorang muballigh handal yang piawai berceramah dalam bahasa sederhana dan mengena,” imbuhnya.
Tak pelak lagi, sambung Din, Yunahar merupakan aset Muhammadiyah yang unik dan langka.
Baca: UBN Ajak Warga Muhammadiyah Meneruskan Perjuangan Prof Yunahar
Di MUI, di mana Almarhum menjabat sebagai salah seorang Ketua kemudian Wakil Ketua Umum hingga akhir hayatnya, juga tak terlepas dari sentuhan pikiran Almarhum.
“Almarhum ikut mewarnai keputusan-keputusan MUI. Sebagai seorang ulama, Almarhum mampu memposisi diri pada Wasathiyat Islam sejati, yang tidak sekadar menekankan moderasi dan toleransi, tapi memadukannya dengan watak i’tidal dan tawazun.
Yang pertama menekankan penegakan keadilan dan adanya keadilan dalam masyarakat, maka pengamal Wasathiyat Islam sejati akan gusar dan prihatin jika merajalela berbagai bentuk ketidakadilan. Yang kedua, tawazun, juga mengejawantah dalam sikap kecenderungan menegakkan keseimbangan dan prihatin terhadap berbagai bentuk kesenjangan dan ketimpangan. Dua kriteria Wasathiyat Islam ini, i’tidal dan tawazun, sering dilupakan karena hanya terfokus pada moderasi dan toleransi. Akibatnya, kita menjadi lembek (bukan lembut) terhadap kemungkaran-kemungkaran terutama yang bersifat struktural yang melekat dalam sistem kehidupan kolektif/kebangsaan.
Baca: Fahmi Salim Ungkap Peran Prof Yunahar Menyelesaikan Masalah Umat
Dari jarak dekat, saya menilai Almarhum Yunahar Ilyas, sebagai ulama sejati, memiliki kuat komitmen kepada Wasathiyat Islam demikian. Hanya saja, Almarhum banyak memilih diam (tidak berbicara di ruang publik yang luas), dan hanya memilih berbicara pada audiens terbatas, yakni jamaah kajian tafsir yang diasuhnya. Sikap demikian sebenarnya cukup berarti dari pada banyak ulama lain yang bisu karenanya lidahnya kelu, atau cenderung menggebu-gebu membela pihak tertentu. Maka kewafatan ulama dari umat ini perlu menjadi peristiwa yang disikapi secara ijabi (responsif untuk mengajukan solusi),” paparnya panjang lebar.*