Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | WAKAF kembali diingat karena menjadi kontroversi setelah Presiden Jokowi bersama Wapres KH Ma’ruf Amin mendeklarasikan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) di Istana Negara pada 25 Januari 2021 lalu. Saat itu, muncul kecurigaan sebagian masyarakat kalua uang wakaf akan dimanfaatkan untuk menutupi kas negara dan mendanai berbagai proyek infrastruktur. Selama ini, pemerintah mengandal-kan pinjaman dari utang luar negeri untuk mengatasi defisit anggaran.
Berbagai tuduhan negatif ini dibantah oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Uang wakaf tidak masuk ke kas negara. Tapi, sebagian dana wakaf hanya dialokasikan untuk membeli obligasi pemerintah melalui instrumen sukuk negara, yang disebut skema CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk). Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sosial. Diakui pula oleh BWI bahwa wakaf diharapkan bisa ikut berperan dalam pembangunan ekonomi nasional.
Wakaf uang atau disebut juga wakaf tunai merupakan bagian dari wakaf produktif yang belum banyak dikenal oleh masyarakat muslim. Karena, wakaf selalu identik dengan tanah atau bangunan untuk kegiatan ibadah dan sosial, seperti masjid, sekolah atau panti asuhan. Padahal, kita bisa mewakafkan perusahaan, hotel, ruko, perkebunan atau usaha lainnya. Inilah aset produktif yang memberi banyak kemanfaatan untuk umat.
Wakaf produktif belum digarap secara optimal. Padahal, potensi wakaf ini begitu besar. Menurut BWI, untuk wakaf tanah di Indonesia ditaksir mencapai Rp 2.050 triliun, sementara wakaf uang potensinya mencapai Rp 77 triliun. Tapi, realisasinya masih sangat kecil. Lalu, apa hambatan dan bagaimana cara mengembangkan potensi besar ini?
Al Fahmu Institute mengundang beberapa tokoh filantropi Islam untuk berdiskusi dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.” Mereka adalah Imam Teguh Saptono (Wakil Ketua BWI), Dr. Ir. HM. Nadratuzzaman Hosen (Baznas), Ir. Heppy Trenggono (pengusaha) dan Dr. Jeje Zainuddin (Waketum PP Persis). Selengkapnya simak di link berikut ini:
Kontroversi seputar wakaf uang menjadi salah satu bukti rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap wakaf, atau bisa jadi bukti ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap pemerintah. Tapi, hikmahnya, menurut Imam Saptono bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi dan membangun literasi umat terhadap wakaf. “Sayang kalau gonjang ganjing ini berlalu begitu saja, tanpa kita ambil hikmahnya,” ungkap Wakil Ketua BWI ini.
Menurut Imam Saptono, wakaf uang merupakan ranah ijtihad ulama, yang sudah lama dipraktekkan dalam perjalanan kekhalifahan Islam. Wakaf telah dimanfaatkan untuk menjalankan berbagai proyek pembangunan dalam pemerintahan Islam. “Setiap kejayaan Islam, maka wakaf selalu mendampinginya,” jelas mantan Direktur Utama BNI Syariah.
Wakaf produktif pernah dilakukan oleh sahabat nabi Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, dengan mewakafkan sebuah kebun kurma. Begitu juga dengan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang berwakaf sumur. “Seandainya saat itu Umar dan Utsman sudah memiliki perusahaan maka yang diwakafkan bukan kebun atau sumur, melainkan PT Umar atau Utsman TBK Enterprise,” jelasnya .
Para sahabat nabi membuktikan kecintaannya terhadap Islam, dengan mewakafkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat. Mereka bergegas untuk berlomba melakukan kebajikan, setelah mendengar firman Alloh Ta’ala, misalnya dalam surat Ali Imran Ayat 92, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Di beberapa negeri Arab, menurut Imam Saptono, wakaf dikelola oleh negara dan menjadi sebuah kementerian wakaf. Di Malaysia dan Singapura, dana wakaf dikembangkan secara profesional dan ditempatkan di area komersial. “Para nadzir dari kalangan profesional yang lama bergelut di bisnis, bahkan ada yang lulusan Harvard,” jelasnya lagi. Sementara, para nadzir di Indonesia kebanyakan pensiunan birokrat. “Karena itu BWI punya tanggungjawab untuk melatih kapasitas nadzir wakaf,” tegasnya.
Inisiasi gerakan wakaf tunai sebenarnya sudah dilakukan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, pada Januari tahun 2010. SBY mewakafkan uang tunai sebesar Rp 100 juta. “Tapi, gaungnya hanya 2 tahun, setelah itu luntur lagi,” ungkap Dr. Ir. HM. Nadratuzzaman Hosen, pakar ekonomi syariah yang juga pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini. Karena itulah, gerakan wakaf harus kembali dihidupkan, karena umat Islam sesungguhnya sudah terbiasa dengan amal jariyah ini.
Berbagai ormas Islam besar, seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah besar karena wakaf. Berbagai pesantren milik kyai NU didirikan di atas tanah wakaf, tapi sebagian besar belum disertifikasi wakaf. Semuanya belum terdata dengan baik. Aset milik Muhammadyah mulai sekolah, pesantren, perguruan tinggi, rumah sakit hingga panti asuhan juga dibangun di atas aset-aset wakaf. Nilainya ditaksir mencapai Rp 400 Trilyun. “Jadi riilnya capital umat Islam itu kaya,” ungkap Dr. Nadra.
Meskipun tertinggal jauh dibanding negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, menurut pakar hukum Islam, Dr. Jeje Zaenuddin, perhatian pemerintah terhadap wakaf sebenarnya sudah lama terbangun, sejak tahun 1960 melalui undang-undang agraria. Tapi, untuk wakaf produktif mulai diatur dalam UU No 41 Tahun 2004 tentang perwakafan, hingga berdirilah Badan Wakaf Indonesia. Menurut Pasal 16 ayat (3) dalam undang-undang tersebut, wakaf tidak hanya dalam bentuk tanah, tapi bisa berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual dan hak sewa. “Dengan undang-undang ini, gerakan wakaf mulai terarah,” ungkap Wakil Ketua PP Persatuan Islam (Persis) ini. Inilah awal kesadaran bahwa fungsi wakaf tidak hanya ditujukan untuk sarana ibadah, juga menjadi instrumen ekonomi umat.
Seharusnya, menurut Dr. Jeje, pemerintah tidak hanya sebagai regulator, juga menjadi pelopor. Tak cukup menginisiasi gerakan dan menghimbau umat untuk berwakaf, tapi tidak dicontohkan oleh para pejabat. “Saya berharap Presiden Jokowi menginstruksikan para menteri dan kepada daerah untuk berwakaf,” tegasnya. Pemerintah juga harus menjadi rekanan para nadzir wakaf, misalnya berbagai proyek yang dijalankan oleh pemerintah didanai dari wakaf. “Jadi proyek itu milik umat, lebih baik pemerintah berutang ke rakyat lewat wakaf daripada ke lembaga asing,” jelasnya.
Umat Islam jangan diajari berkorban untuk bangsa ini. Masyarakat sudah terbiasa menjalankan berbagai amal kebajikan. Di kampung-kampung, banyak masjid dibangun hasil swadaya masyarakat. Pesantren didirikan di atas tanah wakaf dan yang semula bangunan kecil secara bertahap menjadi pesantren yang besar. Mereka mendermakan hartanya kepada para kyai sebagai bentuk kepercayaan dan penghormatan. Begitulah kearifan masyarakat yang ingin selalu terlibat dalam kegiatan amal (filantropi), karena, wakaf merupakan amal jariyah yang tak akan terputus, dan tetap dinikmati meskipun ia sudah wafat.
Berbagai reaksi negatif umat Islam terhadap gerakan wakaf uang yang diinisiasi oleh pemerintah harus disikapi dengan arif. Karena, menurut Heppy Trenggono, pemerintah saat ini tidak hanya menghadapi pendemi covid 19, juga pandemi korupsi. “Kalau kita anggap bangsa ini sedang baik-baik saja, berarti kita telah berbohong,” ujar CEO Grup Balimuda yang juga Presiden Indonesia Islamic Business Forum (IIBF).
Pandemi korupsi telah menurunkan kepercayaan masyarakat. Kekhawatiran umat soal dana wakaf akan dikorupsi sangat wajar. Karena, berbagai korupsi terus terulang dan dilakukan oleh lingkaran elit istana. Seolah-olah korupsi dibiarkan terus terjadi. Jadi, jangan salahkan umat yang tidak percaya dengan keamanan dana wakaf Karena, banyak oknum yang memanfaatkan sumberdaya ekonomi dan sumberdaya politiknya untuk kejahatan korupsi. Dana Bansos untuk rakyat kecil yang terkena dampak Covid 19 saja dikorupsi. Begitulah yang dipikirkan oleh rakyat.
Belum lagi, masyarakat disuguhi berbagai skandal korupsi, seperti korupsi Jiwasraya dengan kerugian negara lebih dari Rp 13 trilyun atau kasus Asabri yang nilai korupsinya sekitar Rp 10 trilyun. Belum lagi berbagai kasus lama yang belum kelar, seperti kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan kerugian negara trilyunan rupiah, uang raib entah kemana. Sayangnya, kepercayaan rakyat makin terpuruk, setelah buronan kakap Sjamsul Nursalim justru di SP3-kan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Daripada mencari utangan Rp 5-10 trilyun ke luar negeri, menurut Heppy Trenggono, lebih baik pemerintah membujuk para penguasaha yang banyak menyimpan dananya di luar negeri. Dana sekitar 11.000 trilyun ini harus bisa ditarik ke Indonesia. “Kalau pemerintah gagal membujuk mereka, bagaimana bisa meyakinkan wakaf tunai kepada masyarakat,” tegasnya.
Menurut Heppy Trenggono, wakaf merupakan dana kedaulatan (souverign fund) umat. Wakaf bisa menaikkan daya saing umat, karena wakaf mampu menurunkan kebutuhan investasi beserta cost of fund-nya hingga nol. Karena, untuk mengembangkannya, wakaf harus masuk ke episentrum bisnis dan investasi. Seperti yang telah diterapkan sebuah proyek properti di Jeddah, Arab Saudi. Ternyata sebagian proyek ini selain dimiliki Sedco, juga dimiliki oleh lembaga wakaf. “Karena uang wakaf tidak boleh hilang, maka risikonya dibail-out oleh Sedco sebagai partner bisnis,” jelasnya.
Namun, masalah profesionalisme para nadzir saat ini dihadapi oleh lembaga wakaf di Indonesia. Setidaknya ada tiga langkah, menurut Heppy Trenggono, untuk dilakukan para nazhir wakaf. Pertama, Creative Fundraising. Manajemen wakaf harus mau memikirkan wakaf dalam bentuk saham. Kedua, Prudent Asset Management, lembaga wakaf harus mau bekerja sama dengan asset management. Sedangkan kemampuan ketiga yang direkomendasi-kannya adalah ‘Waqf Risk Mitigation’.
BWI mencatat ada 264 nadzir wakaf, termasuk BWI yang berfungsi selain regulator juga menjadi nadzir. Menurut Imam Saptono, dana wakaf yang tercatat mencapai sekitar Rp 800 miliar. Sedangkan, dana yang dikelola BWI sekitar Rp 63 miliar. Dari dana itu, sebanyak Rp 50 miliar disimpan dalam bentuk sukuk (obligasi syariah). Pokoknya tetap terjamin, sedangkan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial. Para nadzir seharusnya mampu mengembangkan dana wakafnya. Sebuah masjid yang berada di wilayah strategis, harus memanfaatkan lahannya misalnya dengan membangun gedung perkantoran, sehingga hasil dari sewa kantornya bisa digunakan untuk menunjung berbagai kegiatan masjid. Jadi, masjid tidak lagi menganda;kan dana dari kenclengan apalagi harus meminta-minta di jalan, yang justru merendahkan citra Islam itu sendiri.
Umat Islam harus mulai disadarkan bahwa dana wakaf merupakan dana kedaulatan. Artinya, wakaf harus menjadi solusi dari berbagai persoalan bangsa ini. Bukankah umat Islam juga bagian dari bangsa ini, bahkan yang memiliki saham terbesar dalam perjuangan kemerdekaan.
Wakaf itu berasal dari umat dan untuk umat. Tak ada yang mampu menggerakkan dana umat ini kecuali para ulama. Karena itulah, pemeritah harus mampu berkolaborasi dengan para ulama. Langkah awalnya dengan mencintai dan memuliakan mereka, bukan dengan menebarkan kebencian apalagi sampai mengkriminalkan ulama yang berbeda pandangan dengan pemangku kepentingan negara. Karena, semuanya diawali dari kepercayaan umat. Wallohu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA. Tulisan ini resume Ngeshare Bersama Para Tokoh Filantropi Islam