Hidayatullah.com—GP Ansor Jatim menanggapi polemik padepokan Nur Dzat Sejati milik Gus Samsudin Jadab di Blitar, Jawa Timur, yang disebut banyak menipu masyarakat. GP Ansor meluruskan soal istilah Kiai dan Gus yang cenderung salah dipahami masyarakat, dan tak jarang dimanfaatkan oknum tertentu untuk mengambil keuntungan.
“Ini yang harus diluruskan. Kalau kiai atau ulama itu harus jelas sanad keilmuannya, sedangkan Gus harus jelas nasabnya. Jadi masyarakat jangan mudah percaya pada orang yang mengaku kiai atau gus. Lihat dulu sanad dan nasabnya,” kata Bendahara GP Ansor Jatim Muhammad Fawait dalam keterangannya, Selasa (2/8/2022).
Fawait mengaku prihatin pada fenomena yang terjadi di masyarakat terkait padepokan Samsudin. Menurutnya, banyak orang saat ini sangat mudah mendapat predikat kiai atau gus.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Chotib Al Qodiri IV Jember itu mencontohkan ada orang memakai jubah atau sorban langsung disebut kiai. Padahal tidak pernah mondok, apalagi mengasuh pondok pesantren.
Bahkan justru berpraktik sebagai paranormal atau dukun. “Demikian juga dengan istilah gus. Itu adalah sebutan untuk anak kiai di Pulau Jawa, untuk menghormati bapaknya yang seorang kiai. Jadi tidak boleh sembarangan menyebut seseorang sebagai gus. Cari tahu dulu dia anak kiai siapa, di mana pondok pesantrennya?” ujar Fawait, dilansir oleh Detikcom.
Fawait mengungkapkan segala hal itu harus diposisikan sesuai tempatnya. Termasuk istilah atau penyebutan kiai atau gus dalam kehidupan bermasyarakat.
Lebih lanjut Fawait secara khusus meminta kepada warga agar lebih cermat dalam memilih dan selektif mana yang benar-benar ulama mana yang hanya memanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
“Dari sudut pandang, kalau urusan masalah gus itu anak kiai. Bukan gus itu bisa terbang atau gimana-gimana, ya. Apa yang dilakukan Gus Samsudin itu unik, tidak lumrah, ya. Saya enggak tahu dia anak kiai atau bukan, kami dalam rangka meluruskan siapa sih yang dipanggil ulama, gus, dan kiai,” kata Fawait.
Lebih lanjut ia menjelaskan tentang definisi masing-masing predikat yang sedang ia jelaskan. Yakni terkait siapa yang disebut ulama, siapa yang layak disebut kiai, dan siapa yang seharusnya disebut gus.
“Ulama itu pewaris nabi, punya ilmu untuk diajarkan ke masyarakat. Gus bentuk penghormatan dari masyarakat untuk anak kiai, atau anak ulama yang sudah dakwah ke masyarakat. Jadi sekali lagi, jangan asal ngaku ulama, jangan asal ngaku gus. Kalau kita mengamini (memanggil gus) ada apa-apa nanti disalahkan nama kiai, gus, ulama semuanya. Ini momentum untuk meluruskan definisi,” lanjutnya.
Ia pun kembali mengingatkan bahwa sebutan kiai, gus, lora adalah sebuah penghormatan yang sarat akan makna. Karena itu harus disematkan kepada orang yang tepat dan memang berhak mendapat predikat itu.
“Banyak kasus terjadi, orang yang melakukan praktik perdukunan menyebut dirinya kiai atau gus. Itu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi. Ini tentu merugikan kiai dan gus yang benar-benar asli,” pungkasnya.
Sebelumnya, Padepokan Nur Dzat Sejati milik Gus Samsudin di Desa Rejowinangun, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, digeruduk ratusan warga pada Ahad, (31/7/2022). Warga menuntut padepokan itu segera ditutup karena banyak yang merasa telah ditipu.
Polemik Samsudin yang mengaku ahli spiritual ini, berawal dari perseteruan dengan konten kreator Marcel Radhival alias Pesulap Merah yang berujung dengan penolakan warga terhadap padepokannya.
Samsudin menolak desakan warga untuk menuntut padepokan setelah disebut melakukan praktik penipuan. Samsudin mengaku tetap akan membuka padepokan karena dirinya tidak bersalah dan tidak merugikan pihak manapun. Selain itu, dia mengklaim padepokan miliknya telah memiliki izin tempat dan praktik.*