Hidayatullah.com– Sejumlah uskup Katolik di Amerika Serikat, hari Rabu (13/11/2024), mendorong Gereja supaya berani menyampaikan secara terbuka ajaran Vatikan mengenai berbagai masalah yang sedang hangat dibicarakan, termasuk isu-isu sensitif tentang aborsi, eutanasia, ibu pengganti (surogasi), serta operasi ganti kelamin.
“Kita sudah terlalu lama bersikap terlalu memaafkan,” kata Uskup Robert Barron, seorang rohaniwan yang melek media dan memimpin keuskupan wilayah Winona-Rochester di Minnesota. “Dan kita tidak seharusnya takut kepada para selebriti dan pihak-pihak lainnya dalam mengkhotbahkan isu-isu yang sangat bermasalah,” tegasnya, seperti dilansir Associated Press Kamis (14/11/2024).
Pendapat Barron itu disampaikan dalam pertemuan tahunan musim gugur dan presentasi sebuah deklarasi Vatikan yang dirilis pada bulan April, yang digelar pekan ini di Baltimore.
Deklarasi Vatikan tersebut, “Dignitas Infinita”, menegaskan ajaran Gereja Katolik yang menjunjung tinggi martabat semua manusia dan perlindungan terhadap kehidupan mulai dari tahap-tahap awal kehidupannya sampai kematian.
Dignitas Infinita, setebal 20 halaman yang disusun selama lima tahun, menegaskan sikap penentangan Gereja Katolik Roma terhadap berbagai tindakan yang mencederai martabat dan kehidupan manusia, termasuk migrasi paksa (pengusiran) dan kekerasan seksual.
Di dalamnya juga disebutkan bahwa Vatikan menganggap operasi perubahan gender dan surogasi sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia, demikian pula aborsi dan euthanasia.
Uskup Michael Burbidge dari Arlington, Virginia, yang akan segera mengakhiri jabatannya sebagai ketua komite aktivitas pro-kehidupan USCCB, mengungkapkan kelegaan atas deklarasi Vatikan tersebut yang disebutnya datang “tepat pada waktunya”.
“Sayangnya, banyak negara bagian masih saja memasukkan aborsi dalam konstitusi negara bagian mereka,” katanya kepada peserta pertemuan, merujuk pada inisiatif pemungutan suara negara bagian belum lama ini. “Kami tahu masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.”
“Tugas kita bukan sekedar mengubah undang-undang, tetapi juga mengubah hati dan pikiran,” imbuh Burbidge.
Uskup Thomas Daly dari Spokane, Washington, berbicara dalam pertemuan itu tentang bagaimana sekolah-sekolah Katolik dapat menjadi wahana untuk mengedukasi orang-orang muda tentang etika seksual dalam Katolik.
“Kami ingin para siswa melihat ajaran gereja tentang seksualitas sebagai sebuah ekspresi pemahaman yang lebih dalam tentang pribadi manusia, dan bukan sekedar seperangkat aturan yang bertentangan dengan pandangan budaya populer kita,” kata Daly.
Selama pertemuan tersebut, para uskup Katolik di Amerika Serikat itu menegaskan sikap dan komitmen mereka terhadap anti-aborsi, meskipun berisiko kalah dalam pemungutan suara.
Suara mendukung mengumpulkan 7 dari suara yang ada dalam pemungutan suara tingkat negara bagian tentang hak aborsi. Bahkan di Florida, di mana amandemen hak aborsi gagal, sebanyak 57 persen suara memberikan dukungan terhadap hak untuk menggugurkan kandungan, kurang sedikit dari 60 persen yang dibutuhkan untuk diloloskan.
Uskup Agung Joseph Naumann dari Kansas City dalam diskusi tentang penyebaran ajaran Katolik, sebelum pemungutan suara, mengatakan bahwa keberhasilan inisiatif pemungutan suara hak aborsi harus menjadi “lonceng peringatan” bagi Gereja. Dia mengatakan bahasa yang lebih lugas diperlukan untuk membantu jemaat menerima ajaran Gereja tentang isu-isu kehidupan.
Dalam pidato pembukaan, Uskup Agung Timothy Broglio, presiden US Conference of Catholic Bishops (USCCB), memaparkan visi menggemakan ajaran gereja meskipun tidak populer atau tidak mudah diterima oleh jemaat.
“Kita tidak pernah bergerak mundur atau mengabaikan ajaran Bibel yang jelas. Kita senantiasa menyuarakan kapan saja,” kata Broglio.
“Kita harus menegaskan martabat kemanusiaan seseorang dari rahim ke rahim, jangan goyah dengan komitmen kita,” tegasnya.*