Hidayatullah.com | KH. MOHAMMAD ISA ANSHARY (1916-1969) adalah seorang ulama, politisi dan pemikir Islam yang aktif dalam pergerakan keislaman di Indonesia. Pada 15 Agustus 1943, beliau mengangkat gagasan tentang persatuan ulama sebagai kunci bagi kekuatan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.
Pada masa pendudukan Jepang, KH. Mohammad Isa Anshary mengingatkan pentingnya persatuan ulama sebagai fondasi bagi kebangkitan umat Islam.
Dalam tulisannya di Suara MIAI No. 16 dan 20 berjudul “Ke Arah Persatoean Oelama”, beliau menegaskan bahwa perpecahan di kalangan ulama hanya akan melemahkan perjuangan Islam dan menghambat kemajuan umat.
Mohammad Isa Anshary melihat bahwa perbedaan mazhab sering kali menjadi pemicu konflik yang tidak perlu. Beliau mengajak para ulama untuk meninggalkan perselisihan kecil dan lebih fokus pada persatuan dalam menghadapi tantangan zaman.
Sebagaimana beliau menulis: “Persatoean tidak meminta banjak sjarat jang haroes toean penoehi, tetapi ia mohonkan kepada toean, soepaja toean berlapang dada terhadap kawan jang tidak sefaham dengan toean, tidak semadzhab dengan toean.”
Ulama yang kelak dikenal gigih melawan komunisme ini menegaskan bahwa persatuan tidak menuntut syarat yang sulit, tetapi memerlukan kelapangan dada dalam menerima perbedaan.
Dalam konteks kehidupan beragama dan sosial, beliau mengajak umat Islam, khususnya para ulama, untuk tidak terjebak dalam perselisihan kecil yang dapat menghambat kebersamaan. Persatuan bukanlah tentang keseragaman pandangan, tetapi tentang kemampuan menghargai perbedaan tanpa harus memusuhi atau membenci mereka yang memiliki pemahaman berbeda.
Dengan sikap tasamuh, yaitu berlapang dada, seseorang dapat melepaskan prasangka dan mengutamakan ukhuwah Islamiyah, sehingga semangat kebersamaan dapat diwujudkan demi kemajuan umat.
Sikap ini menjadi landasan penting untuk menghindari perpecahan yang sering kali bersumber dari fanatisme berlebihan terhadap mazhab atau fatwa tertentu.
Dalam tulisannya, beliau juga mengingatkan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan berpikir, dan bahwa perbedaan mazhab seharusnya menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Sebagaimana beliau menulis:
“Djika ia berlainan fatwa dan bertikai ‘amal pada satoe ‘ibadat, toean tekankanlah perasaan toean hendak menoedoeh orang itoe, bid’ah, tachjoel, wahabi, Moe’ tazilah dan sebangsanja.
Kiai yang di kemudian hari berjuluk Napoleon Masjumi ini mengingatkan bahwa perbedaan dalam beribadah tidak boleh menjadi alasan untuk melabeli orang lain dengan istilah negatif seperti bid’ah, tajul, wahabi, atau Mu’tazilah.
Ia menekankan pentingnya kepemahaman yang luas dan hati yang terbuka dalam menghadapi variasi praktik keagamaan. Daripada menghakimi secara terburu-buru, ia mendorong umat untuk bersikap bijak, berdiskusi dengan penuh hormat, dan membantah dengan argumen yang baik, bukan dengan celaan atau hinaan.
Beliau percaya bahwa keharmonisan lebih penting daripada mempertajam perbedaan, karena Islam adalah agama yang menekankan persatuan dan toleransi dalam keberagaman. Dengan menghindari fanatisme sempit, umat Islam dapat fokus pada esensi agama dan memperkuat kebersamaan.
Kegelisahan KH. Isa Anshary Terhadap PKI
MIAI sebagai Simbol Persatuan
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) menjadi contoh nyata bagaimana persatuan ulama dapat diwujudkan. Isa Anshary melihat MIAI sebagai wadah yang mampu menyatukan berbagai golongan Islam dalam satu perjuangan bersama.
Beliau menegaskan bahwa umat Islam harus bersatu dalam menghadapi tantangan zaman, dan bahwa organisasi seperti MIAI adalah bukti bahwa persatuan itu mungkin terjadi. Dalam tulisannya, beliau menyatakan:
“MIAI adalah satu perlambang yang maha jujur tentang persatuan ulama khususnya, umat Islam umumnya.”
Isa Anshary juga mengingatkan bahaya fanatisme buta yang sering kali menjadi penyebab perpecahan. Beliau menyoroti bagaimana fanatisme terhadap mazhab tertentu dapat menghambat kemajuan umat Islam.
Beliau mengajak umat Islam untuk lebih mengutamakan nilai-nilai Islam yang universal, daripada terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif. Sebagaimana beliau menulis: “Islam adalah agama yang memberi kemerdekaan akal dan pikiran kepada pemeluknya, buat menyelidiki soal dan undang keagamaan.”
Dalam tulisannya, Isa Anshary mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menekankan kesatuan dalam keberagaman. Beliau melihat bahwa perbedaan pendapat adalah bagian dari rahmat, tetapi harus tetap berada dalam koridor Islam yang benar.
Beliau mengutip pemikiran Ibnu Taimiyah, yang menegaskan bahwa persatuan umat lebih utama daripada perbedaan dalam masalah furu’ (cabang agama).
Sebagaimana beliau menulis: “Sudah sama dimaklumi bahwa persatuan hati segala umat adalah lebih tinggi dalam agama daripada masalah-masalah sunnat yang dipertengkarkan itu.”
Isa Anshary menekankan bahwa ukhuwah Islamiyah harus dijaga dengan baik, dan bahwa perpecahan hanya akan melemahkan umat Islam. Beliau mengajak para ulama untuk lebih mengutamakan persaudaraan daripada perbedaan.
Dalam tulisannya, beliau mengingatkan bahwa Islam mengajarkan perdamaian, dan bahwa konflik internal hanya akan menghambat perjuangan Islam.
Sebagaimana beliau menulis: “Bukanlah aku telah memberi tahu kepadamu, akan amal yang terlebih utama daripada derajat sembahyang, puasa, dan zakat? Amal itu ialah memperdamaikan pertikaian.”
KH. Mohammad Isa Anshary dalam tulisannya di Suara MIAI No. 16 dan 20 memberikan pesan yang sangat relevan bagi umat Islam hingga saat ini. Beliau menegaskan bahwa persatuan adalah kunci kekuatan, dan bahwa umat Islam harus meninggalkan perpecahan demi kemajuan bersama.*/Mahmud Budi Setiawan