Jum’at, 5 Agustus 2005
Hidayatullah.com–Mauritania menyuguhkan pemandangan dramatis. Kelompok militer anti rezim Presiden Maaouyia Ould Taya berhasil mengambil alih kekuasaan negara Afrika di pesisir Samudera Atlantik ini, meskipun kelompok militer lain yang masih loyal kepada rezim totaliter itu sempat berusaha menggagalkan kudeta.
Kudeta itu terjadi ketika Presiden Maaouyia Ould Taya yang pro Barat dan bersahabat dengan para pemimpin Israel itu berkunjung ke Arab Saudi untuk menghadiri prosesi jenazah Raja Fahd bin Abd ul Aziz Rabu 3 Agustus. Militer berhasil menguasai penuh berbagai gedung dan instansi-instansi vital, termasuk stasiun radio dan televisi, memblokir rute-rute penting, serta menutup bandara di Nouakchott, ibu kota Mauritania.
Melalui stasiun radio dan televisi, para pemimpin gerakan kudeta militer kemudian mengumumkan pembentukan "Dewan Militer untuk Keadilan dan Demokrasi" dengan janji akan membebaskan Mauritania dari cengkraman diktatorisme yang sudah berjalan dua dekade. Untuk ini, mereka memaklumkan masa transisi maksimal dua tahun untuk mempersiapkan pemilu yang jujur, bebas, dan adil.
Pengumuman ini disambut gembira oleh warga Mauritania dengan turun ke jalan-jalan sambil bersorak-sorai. Bunyi klakson terdengar sahut menyahut dari berbagai arah. Namun, berbeda dengan warga Mauritania yang merayakan keberhasilan kudeta itu, organisasi Uni Afrika, negara-negara Barat, dan AS segera melontarkan kecaman terhadap aksi kudeta tersebut. Sekjen PBB Kofi Annan juga turut mengutuk para pelaku kudeta.
Presiden Maaouyia adalah perwira militer berpangkat kolonel yang berhasil memegang tampuk kekuasaan melalui kudeta tanpa pertumpahan darah pada tahun 1984. Selama 21 tahun terakhir, dia menjabat sebagai presiden melalui tiga pemilu yang konon banyak diwarnai kecurangan. Pada tahun 2003 dan 2004, setidaknya terjadi tiga kali upaya kudeta terhadapnya, tetapi gagal.
Sebagian pengamat menilai kebijakan Presiden Maaouyia telah banyak menimbulkan ketidak-puasan berbagai kalangan di Mauritania. Selain sering menyudutkan berbagai kelompok Islamis, presiden negara Muslim yang penduduknya tak sampai tiga juta orang itu juga giat menjalin hubungan dengan Rezim Zionis Israel. Hubungan itu terus diperluas meskipun masyarakat Mauritania sudah sering menentangnya melalui berbagai aksi demo.
Sementara ini masih terlalu dini untuk memperkirakan bagaimana perkembangan situasi politik Mauritania nanti. Dugaan yang bisa dikemukakan hanyalah bahwa negara ini sulit untuk bisa aman dan stabil. Terutama karena banyak negara merasa kepentingan politiknya terusik dan tidak diuntungkan oleh peristiwa pengambilan alihan kekuasaan tidak melalui jalan damai tersebut. (irib)