Hidayatullah.com– Anggapan bulan puasa sebagai waktu bersantai dan tidak bekerja rupanya tidak berlaku bagi warga Pesantren Hidayatullah, khususnya yang bermukim di Kampus Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur. Meski berpuasa, tradisi kerja bakti massal setiap hari Ahad tetap berjalan seperti biasa.
Puasa bukanlah penghalang bekerja, layaknya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat yang tandang ke gelanggang untuk memenangkan pertempuran melawan musuh-musuh Islam.
Bagi warga Hidayatullah Kampus Gunung Tembak, hari Ahad adalah hari kebersamaan seluruh warga. Sudah menjadi rahasia umum, setiap hari Ahad pagi, setiap warga pesantren dihimbau untuk tidak mengadakan kegiatan di luar kampus hingga siang hari.
Untuk itu, usai rutinitas kegiatan Shubuh di masjid, setiap warga dan santri diwajibkan turun ke lapangan untuk bekerja bakti massal (amal jama’iy). Proyeknya pun beragam. Mulai dari mengecor bangunan, mencangkul dan meratakan jalanan umum, hingga membersihkan parit sekeliling kampus dan perumahan warga.
“Proyeknya fleksibel saja, sesuai dengan kebutuhan yang lagi mendesak,” ujar Kepala Departemen Kampus Hidayatullah Gunung Tembak H Sugiono.
Tak terkecuali pada Ahad (21/07/2013), puluhan warga pesantren kembali turun kerja bakti. Tampak sebagian mereka membawa alat cangkul. Sebagian lagi membawa arit dan parang. Hari itu proyek kerja bakti berada di lokasi perkebunan pesantren di areal Gunung Binjai. Sekitar 7 kilometer dari kampus utama Gunung Tembak. Warga diminta menyelesaikan proyek penanaman bibit pohon karet sebanyak 2000 setek. Bibit-bibit tersebut berasal dari sumbangan Departemen Pertanian Kota Balikpapan beberapa waktu lalu.
Menariknya, meski jumlah bibit yang hendak ditanam mencapai 2000 batang, namun setiap warga hanya dibebani menanam sekitar 8 hingga 10 batang. Hal ini tak lain berkat pengaturan dan pembagian warga kampus Gunung Tembak dalam halaqah-halaqah (kelompok). Untuk wilayah Gunung Tembak, jumlah halaqah warga mencapai 16 kelompok, masing-masing setiap halaqah warga lalu terdiri dari 15 orang. Jadinya setiap halaqah hanya bertugas menanam hingga 150 batang bibit karet.
Kultur Turun Temurun
Bagi warga dan santri Hidayatullah, program kerja bakti bukanlah suatu hal yang baru. Sebab kegiatan ini sudah berlangsung turun temurun sejak awal masa perintisan pesantren Hidayatullah.
“Dulu lokasi pesantren ini hanyalah hutan belantara,” ujar Ustadz Hasyim HS tersenyum mengenang.
Bersama Allahuyarham KH Abdullah Said sebagai pencetus ide, Hasyim muda ketika itu ikut mendirikan Pesantren Hidayatullah bersama beberapa sahabatnya yang lain puluhan tahun silam.
“Pekerjaan kita ya shalat dan kerja bakti setiap waktu. Itu saja, tidak ada yang lain,” papar ustadz jebolan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tersebut.
Seiring waktu, Pesantren Hidayatullah terus tumbuh dan berkembang. Namun budaya kerja bakti tetap dilestarikan hingga sekarang.
“Terkesan kerja bakti itu alami dan sederhana, tapi sebenarnya ia menyimpan spirit yang sangat kuat,” ungkap Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Balikpapan Zainuddin Musaddad.
Menurutnya, setiap santri Hidayatullah hendaknya menangkap pesan-pesan tersebut. Mulai dari ruh silaturahim dan kekeluargaan yang kental antara warga dan santri, hingga etos kerja dan semangat berkarya. Di lapangan, tak ada lagi sekat antara guru dan murid, antara santri dan ustadz. Semuanya sama-sama wajib bekerja.
“Jangan sekali-kali ada santri yang tidak ikut kerja bakti karena malas. Sebab di sana ada pelajaran yang tidak pernah didapat di bangku kelas,” ucap Zainuddin semangat.
Lebih unik lagi, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan yang berkampus di Gunung Tembak, bahkan menerapkan aturan, kerja bakti adalah bagian dari mata kuliah yang dinilai dan mempengaruhi kelulusan mahasiswanya. Dalam memberi penilaian, perguruan tinggi berbasis syariah ini tak hanya melihat prestasi mahasiswa dari nilai akademis semata. Tapi juga melihat prestasi ibadah di masjid, akhlak dan moral di asrama, serta semangat kerja di lapangan.
“STIS ingin mencetak sarjana Muslim yang tak hanya pintar di kelas. Tapi ia juga harus terampil dan siap kerja di lapangan,” ucap Ketua STIS Hidayatullah Abdul Ghofar Hadi.
“Ilmu itu jadi berberkah jika dipelajari lalu diamalkan,” pungkas Abdul Ghofar kembali.*/Kiriman Masykur/Koresponden hidayatullah.com di Balikpapan