Hidayatullah.com–Di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, suatu malam di akhir tahun 2005. Gelap malam sudah merambat kian pekat. Dingin. Lampu listrik mati pula. Tapi karena saking capeknya, keluarga di rumah mungil itu tetap saja tertidur pulas.
Keesokan harinya, ketika membersihkan kamar untuk persiapan belajar, alangkah terkejutnya wanita paruh baya itu. Ternyata, tepat di bawah kasur tempat mereka sekeluarga tidur semalam ada ular besar bersemayan di sana, Naudzubillahi mindzalik!.
***
Itulah salah satu pengalaman “menarik” wanita bernama lengkap Rosita Panigoro saat ia melakukan tugas dakwah di daratan Maluku bersama sang suami, Abdurrahman Noho yang juga kelahiran Mando. Lahir pada 29 April 1971, usia remaja Rosita lebih banyak dihabiskan di pondok pesantren. Ia kemudian merambah beberapa wilayah Indonesia untuk mengabdi kepada umat.
Ia masuk Pesantren Hidayatullah menjadi santri awal di Manado tahun 1988 dan diamanahi menjadi Ketua Dewan Santri Putri, sekaligus guru Taman Kanak Kanak (TK). Kemudian tahun 1990 sampai 1993 ia belajar di Balikpapan menjadi santri gelombang pertama Hidayatullah asal Manado di Gunung Tembak.
Saat menjadi santri, Rosita pernah menjabat sebagai koordinator keamanan dan juga Dewan Penasihat santri putri sekaligus wali kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga akhirnya pulang kampung dan menjadi santri di Manado kembali, karena penyakit mata yang dideritanya akibat kecelakaan.
Saat menjadi kepala sekolah TPA Darussalam Manado, ia kemudian dilamar lalu menikah dengan lelaki bernama Abdurrahman Noho yang saat itu kepala sekolah TPA Baitul Makmur di Manado. Bersama sang suami ia pun kelak melanglangbuana menerima perintah tugas dakwah.
Setelah mempunyai putra pertama, setahun kemudian ia sekeluarga berangkat ke Gorontalo dan bergabung di Pesantren Hidayatullah Bumela, daerah tambang Paguyaman. Di sana ia sempat mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Desa Bumela dan membina majelis taklim anak-anak SMP dan SMA.
Kemudian tahun 2001 sampai 2005 ia ditugaskan ke Manado dengan amanah Kepala TK dan juga mengajar di kelas 2 MI. Siangnya mengajar di MTs sekaligus sebagai wali kelas 1 serta menjabat Sekretaris Pimpinan Wilayah Muslimat Hidayatullah Sulawesi Utara untuk periode 2001-2005.
Harus Siap Mati
Dan, kiprah dakwah itu terus belanjut. Ia bersama keluarga lalu ditugaskan ke Ambon tahun 2005, mengikuti suami yang saat itu diamanahi juga sebagai Ketua DPW Hidayatullah Maluku yang berkedudukan di Ambon.
“Berbekal sami’na wa atho’na dan beberapa lembar pakaian dan kitab-kitab, kami pun berangkat menuju Ambon. Jujur yang terbayang dalam benak saya di tempat baru ini adalah orang-orang yang keras, kasar dengan laras senapan yang akan siap menghalangi perjuangan kami dan mungkin syahid akan menanti kami di sana. Karena pada saat itu Ambon pascakonflik,” kata Rosita.
Guyuran air hujan menyambut kedatangan mereka di Ambon Manise, tepatya 5 Oktober 2005, bertepatan 9 tahun hari pernikahan mereka. Waktu itu awal bulan Ramadhan.
Subhanallah, Alhamdulillah, Wa Laa Ilaaha Ilallah, wa Allahu Akbar. Lafaz itulah, kata Rosita, yang keluar dari lisan, sepanjang perjalanan menuju Desa Liang yang jaraknya 36 km dari Kota Ambon. Ia menyaksikan tampak rumah-rumah, gedung, dan pertokoan yang hancur lebur sisa-sisa konflik SARA di wilayah tersebut.
Dua hari keberadaan mereka di Desa Liang, Rosita baru sadar, ternyata di sini tidak ada sumber air dan harus menempuh jarak 8 km dengan memakai mobil atau mengandalkan jatuhnya air hujan.
“Pernah dalam tiga hari berturut-turut kami tidak mempunyai air, padahal saya mempunyai tiga putra dan putri yang masih kecil-kecil, dan yang terkecil baru berusia setahun. Bersyukur saya mempunyai anak-anak santri yang baik dan selalu menawarkan air yang diambil dari gunung, Gunung Lagera namanya,” kisah Rosita.
Rosita menceritakan, untuk ke Gunung Lagera itu, apabila perginya habis Subuh, menjelang Asar mereka baru kembali.
“Di sinilah saya bertekad ingin mengabdikan diriku kepada mereka anak-anak Ambon yang kucintai,” tuturnya.
Awal karier dakwah Rosita mendampingi suami di Ambon adalah membuka pendidikan TK yang gedungnya beratapkan pohon ketapang dan berlantaikan tikar. Rosita menceritakan, terkadang ular pun jatuh dari langit-langit atap pada saat ia mengajar.
Apabila datang hujan, kamar tidur depan dan ruang tamu disulapnya menjadi kantor dan tempat proses belajar mengajar. Sore hari ruangan itu menjadi tempat mengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an, malamnya digunakan untuk tidur keluarga mereka.
Suatu Malam di Liang
Di Desa Liang. Pernah satu malam saat itu mati lampu. Saking capek dan ngantuknya, Rosita dan keluarganya tertidur pulas. Keesokan harinya, ketika membersihkan kamar untuk persiapan belajar hari itu, alangkah terkejutnya dia. Ternyata tepat di bawah kasur di mana semalam mereka tidur ada ular bersemayan di sana, Naudzubillah!.
“Begitulah setiap hari kami jalani saat terindah di Desa Liang,” katanya. Ia menuturkan, dalam setiap munajat di malam hari di sela-sela sepertiga malam tak lupa ia selalu berdoa agar Allah memberikan diberikan kekuatan iman padanya serta melimpahkan rahmat-Nya di tempat tugasnya itu.
Alhamdulillah, lima bulan keberadaan mereka di Desa Liang, mulailah diadakan pengeboran air minum. Namun sayangnya, setiap orang melihat kegiatan pemboran itu, maka dianggap orang pesantren sudah gila karena tidak mungkin ada air yang keluar dari batu cadas.
Tiga bulan proses pengeboran dengan kedalaman 50 meter ke bawah dari dasar tanah, berkat kasih sayang Allah, air keluar dengan mata air yang deras. Para warga Pesantren Hidayatullah bagaikan menemukan air zamzam di tengah teriknya padang pasir. Di situlah sekolah TK mulai dibangun, masjid, gedung, kantor, rumah, dan juga asrama serta perkebunan.
“Satu kesyukuran juga di sekeliling pesantren sekarang banyak rumah warga desa yang tinggal. Sudah hampir 60 kepala keluarga rumah tangga yang menikmati air dari pesantren.”
Di tempat tugas ini, Rosita juga diamanahi menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat Hidayatullah Maluku, sekaligus instruktur wilayah. Dengan amanah itu ia mengembangkan sayap membuat training Grand MBA (Gerakan Membaca dan Belajar Al-Qur’an) untuk ibu-ibu majelis taklim Raudhatul Jannah Mardika yang ada di kota Ambon dan majelis-majelis taklim lainya.
Di Mardika, kabarnya pada awalnya tempat ini belum pernah disentuh dakwah karena tempat prostitusi. Alhamdilillah, Muslimat Hidayatullah di bawah kepemimpinan Rosita memulainya di sela dua tahun. Akhirnya, dia dan sang suami berserta anak-anak pulang pergi dari Desa Liang ke Mardika, Ambon. Jarak 36 km jauhnya.
Haru Perpisahan
Tiga tahun setelahnya Rosita dan bersama suami pun pindah ke kota Ambon menempati kantor sekertariat Hidayatullah yang baru saja dibuat. Sebulan kemudian dia memberanikan diri membuat pendidikan homeschooling (sistem sekolah di rumah) untuk tingkatan sederajat dengan Taman Kanak Kanak. Dan, homeschooling bernama Yaa-Bunayya Hidayatullah ini adalah yang pertama ada di Ambon kala itu.
Setelah hampir dua tahun keberadaan TPQ dan Homeschooling ini membuahkan hasil. Rata-rata anak-anak tamatan Homeschooling sudah bisa membaca dan menulis. Yang menarik, mereka mampu mengingat doa-doa dan hadits serta surah-surah dalam Qur’an.
Jelang terbitnya fajar di pagi hari dan menjelang senja di sore hari sayup-sayup terdengar kalam Ilahi mengema langit di sela-sela ruang tanpa batas. Celoteh anak-anak yang riang membuat Rosita semakin bersemangat dalam berjuang.
Ternyata! Rosita tersadar, setelah lima tahun keberadaan diri dan keluarganya di Ambon, pandangannya yang keliru tentang watak masyarakat ketika pertama kali menginjakan kaki di Ambon pun, terhapus sudah. Mereka ternyata begitu penuh cinta, menghormati dan penyayang.
“Saya tidak sanggup membalas semua kebaikan mereka yang begitu tulus. Apalagi ketika perpisahan itu tiba, rasanya saya tidak mampu meninggalkan mereka,” aku Rosita penuh haru.
“Yah, saya merindukan anak anak didikku, orang tua murid, serta jamaah yang mengantarkan kami sekeluarga ke pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Aku terlanjur mencintai dan menyayangi mereka seperti keluargaku sendiri. Mungkin seperti itulah yang dikatakan Rasulullah, “Bertemu, berkasih sayang dan berpisah karena Allah”. Semoga kita tergolong orang orang yang senantiasa dekat dengan Allah, Aamin” ujarnya lagi.
Sekarang, kurang lebih setahun sudah Rosita menemani sang suami bertugas di Bandar Lampung. Belum banyak yang dilakukan, masih dalam proses pencarian kampus untuk mewujudkan peradaban mulia ke depan yang dicita-citakan.
Dukungan, dan doa serta motiVasi, kami selalu mengharapkannya, katanya. Semoga Allah senantiasa meridhoi perjuangan ini dan memberikan yang terbaik dari sekian yang terbaik. Aamin yaa Robbal ‘Aalamiin. *
Rubrik ini atas kerjasama hidayatullah.com dengan Persaudaraan Dai Nusantara (Pos Dai), untuk informasi berbagai program dakwah dapat di klik di www.posdai.com