Hidayatullah.com— Meski ideologi komunis dilarang di Indonesia, namun orang yang menganut paham ini belum bisa dijerat dengan hukum. Karenanya, diperlukan Undang-undang (UU) terkait ideologi komunisme yang dilarang yang harus memasukkan aspek sanksi hukum dengan tegas.
“Orang mengaku komunis atau atheis di Indonesia tidak bisa dijatuhi hukuman. Tetapi jika mereka menyebarkan dan melakukan gerakan komunis maka bisa ditindak hukum pidana,” demikian jelas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pada acara sarasehan
“Sinyalemen Kebangkitan Kembali Gerakan Komunis Indonesia” di Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa (12/02/2013).
Acara sarasehan yang digelar di PP Tebuireng, Kabupaten Jombang menampilkan sejumlah narasumber. Selain Mahfud MD, ada budayawan dan sastrawan Indonesia Taufik Ismail serta Staf Ahli Kapolri Anton Tabah dan mantan Ketua Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi.
“Kalau memang rakyat setuju, Undang-undang tentang itu perlu disiapkan (dengan mengatur sanksi),” katanya.
Menurut Mahfud, meski ideologi komunis telah dilarang di Indonesia, untuk menjerat penganutnya ke penjara perlu aturan lebih tegas.
“Selama ini, sanksi yang diterapkan lebih banyak sanksi politik, sehingga ideologi itu tetap ada sampai sekarang, bahkan juga masih dianut oleh sejumlah pihak,” katanya.
Saat ini, jika ada yang mengaku mempunyai ideologi komunisme, maka tidak ada sanksi pidana baginya, kecuali jika mengajak orang lain.
“Dulu, ada UU Subversi yang bisa mengatur tentang gerakan-gerakan untuk kepentingan ketertiban, keamanan, dan stabilitas, namun UU itu sudah dicabut,” katanya.
Pihaknya mendukung berbagai gerakan yang dilakukan masyarakat untuk mengatur soal itu, karena dengan hal itu akan bisa meningkatkan berbagai pemahaman tentang negara dan ideologi bernegara.
Sementara itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi mengkritik Komnas HAM tentang rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas penyelidikan peristiwa pada 1965-1966.
Komnas HAM dalam penyelidikan menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah terhadap sejumlah masyarakat pada 1965-1966. Meski tidak menyebutkan secara gamblang, masyarakat yang dimaksud tersebut yaitu simpatisan PKI.
Ia menyebut, peristiwa 1965-1966 itu adalah sebuah upaya revolusi akibat pemberontakan PKI pada tahun 1948. Hasyim berharap Komnas HAM tidak melihat masalah ini semata-mata hak asasi manusia, tapi lebih pada upaya pemberontakan PKI yang dinilai telah melanggar nilai-nilai Pancasila.*