Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Adif Fahrizal
Nama Arab: Penanda Identitas Keislaman
Meningkatnya pemakaian nama-nama Arab di Bantul, Lamongan, dan Lumajang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tentu saja bukan suatu kebetulan. Mengingat bahasa Arab identik dengan Islam tidak berlebihan jika dikatakan bahwa meningkatnya pemakaian nama-nama Arab di tiga kabupaten Jawa ini mengindikasikan meningkatnya kesadaran akan identitas keislaman di tengah masyarakat ketiga daerah tersebut. Menyandang nama Arab membuat seseorang terlihat lebih Islami -atau setidaknya demikianlah harapan orang tua yang memberi nama anaknya.
Tentang apa yang mendorong timbulnya kesadaran identitas ini, Kuipers menyatakan bahwa perlu diadakan penelitian lebih lanjut, akan tetapi ia mengajukan sekurang-kurangnya dua hipotesis untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu timbulnya gelombang “kebangkitan Islam” mulai dekade 1980-an menyusul keberhasilan Revolusi Syiah Iran dan semakin meratanya penyebaran di Jawa, menyusul dimasukkannya pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Semakin terstandarisasinya ejaan nama-nama Arab -seperti pada kasus “Muhammad” dan “Aisyah”- juga bisa menjadi indikasi meningkatnya pengetahuan tentang bagaimana penulisan nama Arab secara tepat yang tampaknya berbanding lurus dengan meratanya penyebaran pengetahuan agama di tengah masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah meningkatnya pemakaian nama-nama Arab berbanding lurus dengan meningkatnya kesalehan masyarakat tersebut -baik dalam dimensi hablum minallah maupun hablum minannaas?
Penelitian Kuipers tidak berpretensi meneliti sampai sedalam itu, namun tentu saja kita bisa menjawab bahwa belum tentu meningkatnya pemakaian nama-nama Arab sama artinya dengan meningkatnya kesalehan masyarakat.
“Islamisasi” dan “Arabisasi”
Mencermati hasil penelitian Joel Kuipers tentang pemakaian nama-nama Arab ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan perdebatan di seputar wacana “Islamisasi” dan “Arabisasi”. Pembicaraan tentang “Islamisasi” dan “Arabisasi” memang kerap diwarnai silang sengkarut yang berpangkal pada ketidakjelasan dan tidak adanya kesepakatan tentang pengertian konsep-konsep tersebut. Apakah pemakaian nama-nama Arab mencerminkan Islamisasi, Arabisasi, atau keduanya sangat tergantung dari makna konsep “Islamisasi” atau “Arabisasi” yang dimaksud. Kita pun harus kritis melihat makna “Islamisasi” yang dipakai Joel Kuipers, yang hanya memakai ukuran-ukuran material dalam menilai gejala “Islamisasi.”
Di satu sisi memang mustahil melepaskan Islam sama sekali dari kearaban. Bagaimanapun bahasa Arab -dengan segala nalar dan cita rasa bahasanya- sebagai bahasa Al Qur`an adalah kunci untuk memahami khazanah ajaran Islam. Untuk bisa menyelami kedalaman isi Al Qur`an seseorang wajib betul-betul memahami bahkan juga menghayati bahasa Arab. Sementara kita ketahui bahwa bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan.
Dengan demikian maka secara tidak langsung untuk bisa memahami kandungan Al Qur`an secara mendalam seorang Muslim memang harus “mengarabkan” dirinya, bukankah dengan menghayati sebuah bahasa maka sesungguhnya kita -sadar ataupun tidak- mencelupkan diri kita dalam suatu budaya tertentu? Dahulu sebelum masuknya Islam negeri-negeri di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara yang kini menjadi negeri-negeri Arab -karena penduduknya berbahasa Arab- bukanlah negeri Arab.
Namun setelah penduduk negeri-negeri itu berbondong-bondong masuk Islam secara berangsur-angsur akhirnya negeri-negeri itu menjadi negeri Arab sebagaimana kita kenal sekarang. Mengapa demikian? Itu karena penduduk negeri-negeri tersebut ingin memahami Al Qur`an dan untuk itu mereka harus belajar bahasa Arab.
Oleh karena cara paling mudah mempelajari suatu bahasa adalah dengan mengadopsinya sebagai bahasa sehari-hari maka merekapun mengadopsi bahasa Arab dan akhirnya mereka beserta anak cucunya menjadi orang Arab sampai sekarang. Berkaca pada kasus ini maka sampai batas-batas tertentu Islamisasi memang identik dengan Arabisasi.
Dalam tataran yang sederhana, pengadopsian nama-nama Arab bisa dilihat sebagai suatu bentuk upaya masyarakat untuk menjadi lebih Islami. Secara gamblang Kuipers mengaitkan meningkatnya pemakaian nama-nama Arab di Jawa dengan Islamisasi, dalam artian semakin banyaknya orang di dalam masyarakat Jawa yang memandang penting identitas keislaman yang lalu disimbolkan dengan penggunaan nama-nama Arab. Apakah ini bisa disebut sebagai Arabisasi? Ya, ia adalah suatu bentuk Arabisasi namun sekaligus juga Islamisasi.
Hanya saja apakah semua bentuk Arabisasi adalah juga -atau sejalan dengan- Islamisasi? Jawabannya belum tentu. Dalam sesi diskusi, sejumlah peserta mengungkapkan bahwa seringkali terjadi orang-orang memberikan nama Arab kepada anaknya tanpa mengetahui arti nama tersebut. Mereka berdasarkan pengalamannya menemukan bahwa terkadang justru nama Arab yang diberikan memiliki arti yang jelek -misalnya “Khoirul Munafiqin” (sebaik-baik orang munafiq), “Mar`atul Jahiliyah” (perempuan jahiliyah), atau Parjiyatun (dari kata “farji”, artinya kemaluan perempuan).
Tentu saja pemberian nama-nama semacam itu bertentangan dengan perintah Rasulullah agar orang tua memberi nama anak-anaknya dengan nama yang baik. Dalam keterangan para ulama tidak disebutkan bahwa nama yang baik itu harus dalam bahasa Arab meskipun tentu saja dalam bahasa Arab sendiri ada sangat banyak kata yang baik yang bisa dijadikan sebagai nama orang. Terlepas dari itu adanya kasus orang-orang bernama Arab dengan arti yang jelek jelas timbul dari salah kaprah bahwa segala hal yang berbau Arab itu pasti baik dan Islami tanpa memahaminya lebih dalam. Dalam kasus ini jelas Arabisasi tidak sama dan sebangun dengan Islamisasi.*[bersambung]
Penulis adalah mahasiswa S2 Sejarah Universitas Gajah Mada