SUARA adzan baru selesai sahut-menyahut dari berbagai penjuru kampung. Seorang pria berjubah dan berpeci bergegas menuju mushalla. Setelah puluhan jamaah berdatangan, ia pun maju mengimami shalat Maghrib.
Mushalla itu berada di kompleks Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, Kecamatan Burau, Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan. Muhammad Mustadir, sang imam shalat, merupakan mantan kepala sekolah di situ.
Ahad malam, beberapa waktu lalu itu, pria kelahiran Suli, Kabupaten Luwu, 31 Desember 1962 ini baru saja memperlihatkan bekas sekolahnya kepada awak hidayatullah.com. Sekolah ini sempat menjadi populer se-Lutim.
Mustadir menjabat sebagai Kepala SMPN 1 Burau pada periode 1994-2005. Kala itu, dengan tangan dinginnya, ia membawa sekolahnya menjadi bak pesantren. Berbagai aturan, sistem, dan pengkondisian keislaman ia jalankan.
“Saya membina (SMP) ini dengan pendekatan agama. Jadi saya usahakan dulu itu harus ada mushalla,” tuturnya saat menjamu awak media ini di rumahnya, tak begitu jauh dari sekolah itu.
Pada tahun 1997, atas bantuan sebuah yayasan, dibangunlah mushalla berukuran sekitar 10×13 meter persegi tersebut. Kala itu, mushalla beton ini merupakan bangunan termewah di kompleks SMPN 1 Burau.
Berbekal keberadaan mushalla, Mustadir mulai memperbanyak ekstrakurikuler sekolah berbasis agama. Awalnya, mushalla itu ditempati shalat berjamaah dan shalat Jumat bagi para guru dan murid.
Sempat terjadi penentangan pengunaan mushalla untuk Jumatan oleh pemerintah desa dan masyarakat setempat. Alasannya bisa mengurangi jumlah jamaah di masjid yang selama ini dipakai Jumatan. Namun ia bersikeras. Dalihnya, jika para murid tak diarahkan Jumatan di mushalla sekolah, belum tentu mereka Jumatan di tempat lain.
“Namanya anak-anak SMP belum terlalu diwajibkan Jumatan toh. Jadi kita harus bina mereka di sini,” jelas putra dari pasangan Nusu–Billi ini dengan logat khas Sulsel. Akhirnya pemerintah desa dan masyarakat mengalah.
Mushalla tersebut juga dijadikan sebagai ruang kelas khusus pelajaran agama, dengan sistem moving class alias murid berpindah kelas.
Di samping penekanan shalat berjamaah, Mustadir juga berusaha meningkatkan intelektualitas murid berbasis agama. “Semua mata pelajaran harus dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an,” ungkapnya.
Guna mendukung itu, Sarjana Pendidikan dari Universitas Tjokroaminoto Makassar (1996) ini terlebih dahulu menata spiritualitas dan intelektualitas keagamaan para guru.
Pada tahun 1998, ia memisahkan ruang belajar antara murid laki-laki dan perempuan. Aturan ini membuat sebagian masyarakat Burau kembali heboh. Banyak pertanyaan dan penentangan dari mereka. Di antara alasannya, murid tidak bisa belajar kalau dipisah begitu.
“Bahkan dari LSM, wartawan, banyak yang datang mempertanyakan, ‘Kenapa bisa begini?’,” ujar Magister Manajemen lulusan Universitas Putra Bangsa Surabaya (2004) ini.
Sementara dinas pendidikan, katanya, tak terlalu mempersoalkan. Cuma ia pernah didatangi staf Departemen Agama setempat untuk dimintai penjelasan soal pemisahan itu. Kala itu di Lutim cuma SMPN 1 Burau yang menerapkannya.
Mustadir sudah menyiapkan berbagai alasan pemisahan itu. Pertama, ia mengaku pernah membaca sebuah teori Barat tentang pendidikan. Yaitu, belajar dalam ruangan yang isinya sesama jenis kelamin akan lebih mudah dan terkonsentrasi.
Alasan kedua, kata Mustadir, jika siswa-siswi bercampur, para siswi lebih sering mengalah saat jam pelajaran olahraga. “Misalnya main voli, jelas perempuan mengalah, karena laki-laki lebih kuat tidak mau ngalah,” ungkapnya dalam obrolan yang ditemani sejumlah pengurus Hidayatullah Lambara, Burau itu.
Namun begitu, berbagai jawaban yang dilontarkan Mustadir masih belum diterima sebagian pihak. Akhirnya dikeluarkannyalah jawaban pamungkas. Ia bilang, pemisahan siswa-siswi bertujuan menghindarkan mereka dari zina.
“Saya kunci saja dengan ayat ‘laa taqrobuzzina’ (janganlah kalian mendekati zina. Red),” ujar Mustadir didampingi sang istri, Suastati (52). Akhirnya, mereka yang menentang atau mempertanyakan keputusannya pun mundur, termasuk para wartawan.
Bagi Mustadir jelas, pemisahan ruang belajar siswa-siswi adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah. Ia tak ingin kelak di akhirat ditanya, mengapa membiarkan percampuran siswa-siswi di sekolahnya.
Gebrakan lain Mustadir, ia menambah waktu berdoa di kelas, yaitu saat akan memulai dan menutup setiap jam pelajaran. Sebelumnya, berdoa harian hanya dilakukan dua waktu; saat akan memulai pelajaran pertama dan mengakhiri pelajaran terakhir.
Selain berdoa, di awal pelajaran juga dikondisikan membaca al-Qur’an bagi murid Muslim. Tujuan berdoa dan mengaji itu agar mereka senantiasa bergantung kepada Tuhan.
Karakter Mustadir ia akui tegas bahkan keras. Sikap ini menjadi salah satu faktor yang memudahkannya menjalankan berbagai aturan sekolah. Ia juga tipe orang yang tak banyak berteori.
“Kalau ada muncul ide-ide dalam pemikiran saya, biasa (saat) shalat malam, itu yang saya terapkan,” ujar Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Burau ini kepada hidayatullah.com.
Ide yang terbetik pun ia sampaikan kepada para guru. Meski sesekali ada yang mempertanyakan, tapi mereka menerima saja.
Ini alasan penting lain mengapa ia mendidik di SMPN 1 Burau berbasis spiritual. Kata dia, pelajaran agama di sekolah negeri yang cuma 2 jam dirasa tak cukup. Ia juga bermaksud menampik anggapan masyarakat, bahwa, kalau mau belajar agama cukup dengan masuk pesantren atau madrasah.
“Istilah saya dulu itu, bukan hanya dari pesantren saja yang mau masuk surga. Sehingga kita (sekolah negeri) juga harus belajar agama,” terang pria berpostur tinggi yang murah tawa ini.
Rupanya, peningkatan spiritualitas di SMP itu berbanding lurus dengan torehan akademisnya. Di sini sempat ia jalankan program sekolah 2 tahun. Satu-satunya sekolah yang membuat program akselerasi itu di Luwu Raya –meliputi Lutim, Luwu, Kabupaten Luwu Utara, dan Kota Palopo.
Hasilnya, dari 800-an muridnya, banyak yang berprestasi di berbagai bidang; termasuk anak pertamanya, Ahmad Ali Hakamdani (kini sudah S-2 lulusan Universitas Indonesia tahun 2014). Sementara istrinya jadi guru berprestasi tingkat provinsi.
SMP ini pun, katanya, sekitar tahun 2003-2004 disebut oleh kepala dinas pendidikan Lutim sebagai sekolah unggulan. “Kita meraih SMP pengelola OSIS terbaik di Sulsel,” ujar ayah dua anak (satunya almarhum) yang kini menjadi pengawas pendidikan menengah se-Lutim itu.
Tapi entah mengapa, ia dipindah tugas menjadi Kepala SMAN 1 Burau (2005-2015). SMP yang ditinggalkannya pun, kata dia, menghapus banyak kebijakannya. Di SMA, prestasi serupa ia ukir. Perjuangannya di level lebih tinggi ini pun punya cerita lain. Simak kisah lengkapnya di majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2015, rubrik Profil halaman 80.*