Oleh: Harri Ash Shiddiqie
TAHUN 2004 Prancis mengawali pelarangan simbol-simbol agama untuk anak-anak sekolah negeri, jilbab salah satunya.Tahun 2007 menyusul larangan bagi pekerja di instansi yang memberikan layanan publik. Tahun 2011 niqab dilarang di depan umum.
Dalam berbagai variasi, Belgia dan Belanda ikut-ikut.
Belum puas. Beberapa hari yang lalu, Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls, mengusulkan pelarangan jilbab di universitas.
Jilbab menjadi isu politik kontroversial, muslim di Prancis yang jumlahnya diperkirakan 5 juta orang tidak berdiam diri. Mereka turun ke jalan, protes. Di sisi yang lain, pelarangan jilbab juga ditunggangi kelompok politik tertentu untuk mendapat simpati saat pemilihan umum.
Bukan hanya jilbab. Tahun 2011 muncul larangan shalat di jalan. Untuk menunaikan shalat Jumat tempat ibadah tidak mencukupi, kaum muslimin tumpah di jalan-jalan. Tumpahan itu tidak mengganggu arus lalu lintas. Tuduhan dilontarkan : Fenomena menggelar sajadah atau tikar di jalan untuk shalat merupakan ulah fundamentalis muslim untuk tujuan-tujuan politik.
Dalam kata-kata yang pedas, Menteri Dalam Negeri Prancis saat itu, Claude Gueant berkomentar “Berdoa di jalanan adalah tindakan tidak bermartabat.”
Pemerintah menawarkan barak bekas pemadam kebakaran yang dapat menampung 2000 jamaah yang bisa disewa. Pemimpin Muslim mengunjungi tempat tersebut, dan kemudian memakainya.
Tidak semua muslim setuju, “Tidak ada sistem di alam semesta dapat mengendalikan kita selain Allah,” teriak seorang pemuda yang marah. “Lebih bermartabat berdoa di rumput daripada di masjid palsu.”
***
Lontaran larangan jilbab di universitas di pertengahan April ini adalah susulan dari pernyataannya 4 April yang lalu tentang pakaian renang Islami, Burqini (Burqa-bikini) yang dipromosikan Marks and Spencer dengan gaung: “Menutupi seluruh tubuh anda kecuali wajah, tangan dan kaki tanpa mengorbankan gaya.”
Perdana menteri menyerang, burqini bukanlah fashion, mengurungi tubuh perempuan adalah semacam “perbudakan”.
Menteri Prancis Samakan Wanita Berjilbab dengan ‘Negro yang Dukung Perbudakan’
Pernyataan ini diawali oleh kontroversi sebelumnya yakni di akhir Maret ketika Menteri Urusan Keluarga Anak-Anak dan Hak Wanita, Laurence Rossignol, yang menyerang pemakai burqini sebagai negro Amerika yang mendukung perbudakan.
***
Derita kaum muslimin Prancis bertalu-talu.
Apakah mereka menyerah? Tidak.
Banyak muslimah keluar dari tempat kerja karena pembatasan tersebut. Ada mantan asisten manajer sebuah perusahaan jasa yang kemudian menjahit dan mengembangkan bisnis pakaian bayi. Ada seorang sekeretaris laboratorium yang memilih berhenti lalu memproduksi manisan halal.
Tahun 2011 bisnis Muslim perempuan diwadahi sebuah jaringan e-trading, “Bisnis Akhawate”. Disisi yang lain muncul situs bagi konsumen muslim, Al-Kanz.
Anggota jaringan saling berkomunikasi mengemukakan kesulitan, mendamaikan kepuasan, saling mengingatkan untuk tidak meminjam modal dari bank karena larangan riba. Saling menyemangati bahwa dengan bisnis yang operasi dan produksi terbatas, itu melindungi diri dari kebangkrutan.
Muslimah-muslimah itu memilih meneguhi “kewajiban agama” dibanding harus mengikuti peraturan buatan manusia. AllahuAkbar!*
Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Jl. Kalimantan III, Jember-Jawa Timur