Jangan sampai narasi Ratu Adil dan racun Satrio Piningit meninabobokan rakyat marjinal, sehingga pembodohan lagi menjadi agenda terselubung bagi politisi busuk
Oleh: Mu’min Roup
Hidayatullah.com | SASTRAWAN Sunda, Ajip Rosidi pernah menyatakan bahwa ramalan Siliwangi tak pernah terbukti secara nyata dalam sejarah Indonesia. Jika menilik kebenaran ramalan Jayabaya itu hanya bersumber dari teks-teks yang tertulis beberapa abad sesudahnya.
“Jika pun ramalan tentang Ratu Adil benar adanya, siapapun tak bisa memastikan apakah sosok Ratu Adil itu sudah terjadi ataukah belum?” demikian tegas Ajip Rosidi.
Pada prinsipnya, setiap ramalan akan datangnya Ratu Adil (Satrio Piningit) mengindikasikan adanya harapan yang utopis akan datangnya hidup yang serba makmur, ideal, dan terbebas dari segala cobaan dan ujian. Padahal sejatinya, tak ada kehidupan di dunia ini yang terbebas dari masalah, biarpun sang pemimpin itu seorang wali, santo, bahkan nabi sekalipun.
Dalam sejarah kapanpun dan negeri manapun, nasib peradaban suatu masyarakat dan bangsa, tak ubahnya seperti roda yang terus berputar. Ada musim hujan ada paceklik, ada kemakmuran ada kekurangan pangan, bahkan ada kemenangan dan kekalahan.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri tak sanggup memprediksi apa-apa yang bakal terjadi dengan pasukannya yang luluh-lantak pada saat Perang Uhud. Meskipun, sebelumnya (Perang Badar) pengikutnya telah mengalami kemenangan yang gilang-gemilang. Setiap ramalan (termasuk Jayabaya) tak pernah mengabarkan apa yang terjadi setelahnya, dan siapakah sosok sebenarnya dari sang Ratu Adil tersebut?
Munculnya sikap fatalistik dari para penganut kepercayaan ini, akan menimbulkan sikap skeptis manakala siapa yang menjadi idolanya belum muncul. Mereka bahkan berkorban untuk menyerahkan nasib hidupnya demi untuk menyambut kedatangannya.
Padahal, bukankah kemakmuran dan kejayaan hanya mungkin terjadi, jika setiap elemen masyarakat memiliki kepekaan dan kepedulian untuk berbuat, baik dalam hal yang sederhana sekalipun?
Tidak ada seorangpun yang boleh diam tanpa kontribusi untuk menciptakan perubahan itu sendiri. Sikap skeptis dan fatalistik, justru akan menghambat kemajuan serta merugikan negeri kita sendiri.
Sikap skeptis dengan bergantung pada nasib orang lain, juga akan merugikan perubahan yang ada dalam diri sendiri. Sedangkan, konsep ideal yang diteladani orang-orang bijak, hendaknya perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.
Setiap individu harus bertanggung jawab melakukan perubahan, dan tak lagi hanya menanti-nanti datangnya sang nasib.
Untuk itu, jangan sampai narasi Ratu Adil dimanfaatkan untuk meninabobokan rakyat marjinal, sehingga pembodohan dan pendangkalan lagi-lagi menjadi agenda terselubung bagi kaum politisi yang berkepentingan menjadi penguasa di negeri ini.
Ramalan Satrio Piningit
Pramoedya Ananta Toer pernah memberi peringatan agar bangsa ini jangan bergantung pada hal-hal yang irrasional dan tak masuk akal. Kepercayaan pada ramalan akan melemahkan daya pikir dan ikhtiar manusia, karena ia cenderung menggantungkan hidupnya pada nasib buta tanpa harapan dan cita-cita.
Kepercayaan pada sang Ratu Adil sebegitu melekat dalam kehidupan masyarakat kita. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah “Satrio Piningit” (artinya sang juru selamat).
Kepercayaan pada juru selamat tak terlepas dari ramalam pujangga Jayabaya, syair-syair Ronggowarsito, hingga dokumen-dokumen klasik seperti Kalatidha dan Darmogandul. Dalam karya prosa, “Ramalan Sang Pujangga” (www.solopos.com) justru mengindikasikan para seniman senior yang banyak berkarya di masa Orde Baru, telah diselubungi mental khurafat dan takhayul untuk melumpuhkan para penulis muda yang dianggap “mengancam” status quo kepentingan mereka.
Ramalan yang menyebut-nyebut akan munculnya tujuh sastrawan muda yang naik daun, tak ubahnya dengan dokumen gaib tentang tujuh satrio piningit yang akan memimpin dan menguasai bekas wilayah Majapahit.
Konon, ketujuh penguasa itu adalah Satrio Kinunjara Murwa Kuncara, Satrio Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumela Atur, Satrio Lelana Tapa Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapura, dan Satrio Pinandita Sinisihan Wahyu.
Sementara, keyakinan terhadap sang Ratu Adil di kalangan masyarakat Sunda, sangat terkait erat dengan mitos-mitos tetua Sunda di seputar Raja Siliwangi. Mitos itu seakan mengisyaratkan kehidupan masa depan yang terbebas dari masalah, terutama ketika munculnya sang Ratu Adil yang arif dan bijaksana, serta akan dijuluki sebagai “Bocah Angon” (Sang Penggembala).
Pemilu dan Ratu Adil
Tidak sedikit masyarakat yang meyakini bahwa Ratu Adil kelak akan memimpin negeri ini, serta akan muncul di antara para kandidat presiden RI menjelang pemilu 2024 ini. Di setiap pemilihan umum, sebagian masyarakat tidak hanya memilih melainkan juga mencari-cari sang juru selamat.
Fenomena ini sering dimanfaatkan kaum politisi, hingga menjadi komoditas empuk untuk membungkam dan meninabobokan masyarakat awam.
Secara historis, kepercayaan kepada sang Ratu Adil seakan mengejawantah sejak era Pangeran Diponegoro yang berani memimpin pemberontakan terhadap pendudukan Belanda.
Menyusul di awal abad ke-20 (tahun 1919) ketika seorang warga Jawa Timur (Jebrak) berambisi ingin mengembalikan kejayaan Majapahit. Di pertengahan abad ke-20 tak asing lagi, figur bapak bangsa Soekarno, yang juga digadang-gadang sebagai sang juru selamat (Satrio Piningit).
Meskipun sudah memasuki era milenial serta munculnya generasi AI (artificial intelligence), seakan tak menggerus kepercayaan sebagian masyarakat pada kedigdayaan Sang Ratu Adil.
Akhir-akhir ini, semakin marak kepercayaan sebagian masyarakat pada figur yang dianggap mumpuni. Fenomena ini, tak terlepas dari sistem pemerintahan kita yang mengacu pada kekuasaan raja-raja di berbagai daerah dan kepulauan.
Sang raja dianggap memiliki legitimasi politik sekaligus spiritual bagi para kawula. Ia dianggap sebagai “titisan” para dewata, hingga rakyat memberikan loyalitas penuh kepadanya.
Di sisi lain, seorang tokoh spiritual (ulama dan habaib) yang dianggap guru yang memiliki otoritas, serta dianggap mampu memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat.
Bahkan di pusat ibukota Jakarta, kita masih menemukan orang-orang yang hidup-matinya dicurahkan sepenuhnya bagi perjuangan untuk membela sang raja, ulama maupun habaib, biar serendah apapun kualitas spiritual maupun wawasan kebangsaan dan kenegarawanannya.*
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan pada fakultas Hukum dan Syariah, di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta