oleh: Muh. Nurhidayat
DI penghujung Mei 2016, berlangsung pertemuan—atau konferensi—media Islam internasional di negara kita. Sayangnya, panitia tidak mengundang satu pun media Islam yang eksis dari Indonesia, tuan rumah konferensi tersebut. Padahal di negara kita terdapat banyak sekali media Islam—cetak, elektronik, dan interaktif/online—yang eksis.
Perwakilan media massa dari Indonesia adalah LKBN Antara—yang jelas bukan media Islam dan Republika—yang belakangan dianggap tidak lagi antusias menyuarakan (ajaran) Islam yang sebenarnya. Selain Antara dan Republika, ada sejumlah media online ‘gurem’ yang tidak jelas ideologinya, tidak eksis, bahkan sebagian besar kaum muslimin di negara ini pun tidak mengenalnya.
Seorang wartawan senior sebuah media Islam yang eksis dan kredibel di mata mayoritas umat, sempat melakukan analisis sederhana atas konferensi tersebut. Hasilnya, kecuali Antara dan Republika—yang dikenal lebih ‘netral’ dalam reportase, media-media ‘gurem’ yang diundang adalah media yang secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan mendukung rezim Bashar al-Assad dalam pemberitaannya.
Lagipula, konferensi internasional itu juga didominasi media poros Iran dan Libanon yang secara terbuka—dalam reportasenya—membela el-Assad, meskipun selama lebih-kurang 5 tahun terakhir ini presiden Suriah itu telah melakukan pelanggaran HAM berat kepada rakyatnya sendiri.
Inti pembahasan dalam konferensi tersebut adalah bagaimana media Islam dapat eksis dan bangkit dari keterpurukannya di dunia informasi.
Meskipun tidak sedikit pengamat komunikasi Islam menduga, bahwa mungkin juga terdapat agenda tersembunyi dari pertemuan—yang tidak menghadirkan perwakilan dari banyak media Islam di Indonesia. Yaitu sebagai ajang koordinasi strategi public relation untuk mengangkat citra Bashar el-Assad di mata khalayak. Sebab al- Assadkini mulai kembali kehilangan ‘muka’ setelah pengeboman—sekaligus pembantaian terhadap rakyatnya sendiri di—Aleppo.
Ramalan tentang Media Cetak
Berbicara tentang eksistensi media Islam, terutama media cetaknya, tentu tidak dapat dipisahkan dari pembahasan dinamika media massa secara umum, yang kini berada di era konvergensi. Munculnya konvergensi media—yang dipicu setelah eksisnya internet, telah dianggap menggeser keberadaan—bahkan mematikan—media cetak.
Masalah ini diperparah dengan prediksi ‘kematian’ media cetak yang dikemukakan banyak praktisi informasi dunia. Pada 2006, Philip Meyer memprediksi suratkabar akan ‘mati’ pada tahun 2042. Menurutnya, penurunan jumlah pembaca total suratkabar (di AS) telah terjadi sejak akhir 1960-an. Saat itu—selain disaingi radio dan televisi, suratkabar mulai disaingi oleh internet—yang masih dipakai di kalangan terbatas. Fenomena ini menjadi acuan bagi para pengelola suratkabar saat itu, bahwa media cetak memang akan mati dan mereka berusaha untuk memperpanjang usia korannya. (Meyer, 2009)
Prediksi Meyer dianggap serius oleh sejumlah pengelola media. Malah pada tahun yang sama, raja media dari Australia, Rupert Murdoch meramalkan media cetak akan berhenti terbit pada 2026, atau hampir 20 tahun lebih cepat daripada prediksi Meyer.
Apalagi sejak 2008, ratusan suratkabar di berbagai negara memang telah berhenti terbit karena tidak kuat menghadapi era konvergensi. Media cetak terkenal yang ikut ‘mati’ itu meliputi: Albuquerque Tribune, Baltimore Examiner, Cincinnati Post, Chicago Tribune, Halifax Daily News, Kentucky Post, King Country Journal, Los Angeles Time, Newsweek (majalah yang didistribusikan secara internasional), Philladephia Inquiry, San Juan Star, Seattle Post Intelegencier, majalah South Idaho Star, The Rocky Mountain News, Union City Register Tribune, serta The Sun (koran harian terkenal Inggris yang telah berusia 80 tahun).
Salah satu yang dianggap sebagai penyebab mulai menurunnya jumlah pembaca media cetak adalah pesatnya perkembangan internet yang menyediakan informasi berita secara aktual, tidak hanya dalam setiap 24 jam sebagaimana terdapat pada suratkabar harian, tetapi berita-berita melalui internet terus di-update dalam hitungan detik.
Namun demikian, ada sikap optimis bahwa riwayat media cetak belum akan berakhir dalam waktu beberapa tahun mendatang. Bahkan usia media cetak Islam pun insya Allah dapat lebih lama daripada media cetak umum.
Mengapa demikian?
Sebenarnya ramalan bahwa media cetak akan mati tidak hanya terjadi pada satu dasawarsa terakhir ini. Effendy (1999) menceritakan, pada tahun 1920-an silam banyak pihak meramalkan koran akan segera ditinggalkan pembaca. Sebab saat itu radio siaran mulai mengudara dan banyak bermunculan di AS dan Eropa. Radio-radio siaran ini selain menyiarkan musik juga menyuguhkan berita. Masyarakat pun mulai banyak yang mendengarkan media elektonik audio itu untuk memperoleh informasi sedikitnya empat kali dalam 24 jam, yaitu pagi, siang, sore, dan malam hari.
Hal ini sempat menurunkan tiras suratkabar yang hanya dapat menyajikan berita maksimal dua kali sehari (pagi dan sore). Persaingan tidak berimbang antara suratkabar (media cetak) dengan radio yang mulai diminati masyarakat melahirkan fenomena ‘press – radio war’ di AS maupun Eropa. (Effendy, 1999).
Namun masalah ini, menurut Effendy (1999), dapat diatasi dengan baik. Para pemilik suratkabar dan pemilik stasiun radio siaran bekerjasama membentuk korporasi jaringan media. Ada pula pemilik suratkabar yang mendirikan sendiri stasiun radio siaran baru. Masyarakat pun tetap—dan kembali—membaca koran karena ternyata berita-berita di media cetak lebih mendalam daripada berita dari siaran radio. Tiras koran secara umum mengalami peningkatan.
Demikian pula ketika pada tahun 1960-an sempat terjadi penurunan pembaca suratkabar dan pendengar radio karena hadirnya televisi. Masalah ini segera dapat diatasi pula karena masyarakat ternyata masih membutuhkan suratkabar karena kedalaman reportasenya. Sehingga banyak orang kembali membeli suratkabar. Lagipula membaca koran sudah menjadi tradisi masyarakat kelas mengah ke atas. Ditambah lagi pemilik suratkabar pun mulai ‘merangkul’ televisi untuk dimiliki sehingga berita-berita di televisi, radio, maupun suratkabar saling menunjang. Fenomena inilah yang penulis sebut sebagai ‘era konvergensi media’.
Pada tahun 1990, raja komputer dunia, Bill Gates meramalkan, media cetak akan mati pada tahun 2000. Namun ramalan Gates tidak terbukti. Malah di Indonesia saja hingga kini koran-koran di berbagai daerah terus bermunculan. Tidak hanya itu, jaringan media cetak seperti JPNN melalui konsep koran daerah atau Radar-nya, telah menerbitkan suratkabar harian di kota-kota kecil, yang pada era orde baru silam banyak orang tidak menduga, bahwa akan terbit koran di kota-kota kecil dari Sabang sampai Merauke.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Saat ini, ketika perkembangan teknologi informasi tidak dapat dibendung lagi, ketika internet mulai banyak diakses masyarakat (terutama generasi muda), bukan menjadi alasan bahwa media cetak akan segera mati. Sebab berdasarkan sejumlah penelitian, sebagian besar akses internet oleh masyarakat bukan untuk mencari berita tetapi memperoleh hiburan. Ketika ada masyarakat yang mengakses internet untuk memperoleh informasi, maka umumnya mereka akan kembali mencari suratkabar/majalah karena berita di media cetak lebih mendalam dan detail.
Media Cetak Meninggalkan Pembacanya Sendiri
Pada 2000, mantan menteri penerangan RI, yang juga guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Muhammad Alwi Dahlan menanggapi isu akan berakhirnya riwayat media cetak. Meurutnya, media cetak memang akan mati. Penyebabnya bukan ditinggalkan pembacanya, namun karena kertas sudah tidak dapat diproduksi lagi. Media cetak pasti menggunakan kertas sebagai bahan baku. Ketika kertas sudah habis akibat hutan-hutan (tempat tumbuhnya pepohonan untuk bahan baku kertas) mulai gundul, maka saat itulah riwayat media cetak akan tamat. Jadi, selama kertas masih ada (masih bisa diproduksi), maka media cetak pun akan tetap ada. (Nurhidayat, 2001)
Berakhirnya riwayat sejumlah media cetak di berbagai negara pada dasarnya bukan karena ditinggalkan pembaca. Namun—sebenarnya—media cetak itu sendirilah yang meninggalkan pembacanya. Ada beberapa penyebabnya.
Pertama, masalah kaderisasi. Harian Surabaya Post, salah satu koran tertua di kota Pahlawan, harus berhenti terbit karena tidak ada di antara keturunan generasi ke-3 pendirinya yang mau menekuni bidang jurnalistik. Kini Surabaya Post telah dihidupkan kembali. Namun ‘reinkarnasi’ tersebut membuat Surabaya Post kehilangan jatidirinya, sehingga tidak tenar dan laris lagi seperti dahulu. Koran itu tidak mampu lagi memenuhi selera pembaca fanatiknya.* (BERSAMBUNG)
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, mantan pengurus KAMMI Daerah Sulsel