Bukan muslim jika tak marah ketika agamanya dinista
Bukan muslim jika tak marah ketika dakwahnya dijeda paksa
Dan bukan muslim jika hanya diam saat tahu bahwa umat kini butuh solusi atas persoalan hidup yang semakin rumit
Oleh: Naufal Nafi’a Sariroh
AKSI bela Islam tanggal 2 Desember 2016 atau popular disebut Aksi 212 yang berhasil digelar awal Desember setahun lalu telah dengan nyata menunjukkan eksistensi umat Islam yang sebenarnya.
Penyebabnya adalah eks Gubernur Jakarta, Basuki Thahaja Purnama, yang dianggap telah menistakan agama Islam lewat pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang mengutip QS. Al-Maidah: 51 telah memunculkan bukti bahwa umat Islam bukanlah umat yang dapat diremehkan kesolidaritasannya.
Umat Islam tidak rela satu ayat dalam al-Quran dihina, sehingga mereka bersatu untuk memperjuangkannya sembari mereka menolak pemimpin kafir dalam Pilkada Jakarta tahun 2017.
Tidak hanya umat Islam di Jakarta yang mengikuti Aksi 212 pada tahun lalu, namun berbagai umat Islam dari penjuru wilayah nusantara datang dan bersatu ke Jakarta untuk membela agama mereka.
Setelah Aksi 212 dan aksi-aksi serupa selanjutnya yang memperjuangkan Islam, sejumlah ulama mengalami kriminalisasi dan persekusi. Kaum muslimin secara umum dibatasi ruang gerak dakwah mereka hanya seputar masalah ibadah, bila ada sejumlah kaum muslimin atau ormas yang mencoba mengkritik penguasa maka akan diberi lebel radikal. Tak ayal pula, diskriminasi terhadap umat Islam semakin nyata dengan adanya pembubaran ormas beberapa bulan lalu. Hal ini tentu, membuat umat Islam semakin marah atas sikap pemerintah yang dinilainya begitu otoriter dan sengaja mendiskriminasi umat Islam.
Setelah adanya peristiwa-peristiwa akbar yang tetap tak berbekas pada benak umat Islam itu, pemerintah seolah tak pernah berhenti ulahnya dalam upaya penghentiannya atas adanya seruan dan aksi nyata umat Islam dalam menyebarkan kebaikan.
Pasalnya, mereka telah dengan paksa melakukan persekusi pengajian, kriminalisasi simbol Islam, upaya pemecah belahan ukhuwah Islam, dll. Hal itu tentu senantiasa terus menggores hati umat Islam. Sehingga dengan keberanian yang kuat dan tekad yang bulat, umat Islam kembali muncul di mata masyarakat dengan aksinya yang disebutnya sebagai Reuni Alumni 212 yang telah diadakan Sabtu, 2 Desember 2017. Di hari yang sama dan di bulan yang sama.
Atas dasar inilah, sebenarnya umat Islam kembali menunjukkan pemeliharaannya atas eksistensinya. Umat Islam harus menyamakan frekuensi dalam menghadapi situasi terkini yang dimobilisasi tokoh-tokoh umat alumni 212. Walaupun banyak pihak yang menganggap hal ini sebagai sarat agenda politik (dukung-mendukung calon untuk politik 2019), sungguh apa yang ada di balik hati para tokoh umat bukanlah demikian. Justru, mereka dengan berbaik hati menunjukkan kesolidaritasannya akan kepedulian mereka terhadap persoalan yang menimpa umat. Mereka dengan ikhlas bersedia menunjukkan pembelaannya terhadap Islam yang tidak mudah diremehkan.
Dari reuni 212 diharapkan umat sadar bahwa forum ini bukanlah reuni biasa, melainkan sebuah forum nyata untuk bersatu dan bahu membahu dalam memikirkan dan mencari solusi atas beragam persoalan yang kian menimpa umat karena tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan.
Sudah saatnya kaum muslimin bersama-sama merapatkan barisan untuk menghadapi musuh nyata umat Islam yakni komunisme, imeperialisme, kapitalisme,sekulerisme dan liberalisme yang semuanya ini membuat kaum muslimin semakin menderita dan terjajah.
Sudah saatnya kaum muslimin bersatu menyongsong kebangkitan Islam dalam naungan syariah.*
Penulis adalah pelajar kelas XII SMK, SMK Muhammadiyah 03 Singosari – Malang