Hidayatullah.com– Munajab (65 tahun) harus menempuh perjalanan selama 1,5 jam untuk sampai di tempatnya bekerja. Ia berangkat dari rumahnya di Pandaan, Pasuruan menuju Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Ia keluar mengendarai sepeda motor sebelum mentari menampakkan hidungnya
Meskipun jaraknya jauh, ia amat bersyukur bisa mendulang rezeki dari Kampung Budidaya Rumput Laut Desa Kupang di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Terlebih, dari situ ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk juga biaya sekolah anaknya.
“Saya jadi buruh di sini sudah hampir 8 tahun,” aku ayah dari tiga anak ini sambil menyungging senyum, saat berbincang dengan hidayatullah.com di tepi tambak, Senin (5/12/2022).
Pria asal Trosobo, Sidoarjo, ini mengaku memperoleh upah 1,7 juta rupiah dari 1 ton rumput laut kering yang dihasilkan. Upah tersebut ia dapatkan setiap selesai dilakukan penimbangan di gudang Kampung Budidaya Rumput Laut Desa Kupang.
“Kalau musim kemarau, penimbangan bisa dilakukan setiap 10 hari sekali. Namun untuk musim hujan seperti sekarang ini bisa 13-15 hari baru penimbangan. Sebab harus menunggu sampai benar-benar kering terlebih dahulu,” jelas Munajab yang biasa mengambil libur selama 2 hari setiap selesai “gajian”.
Awalnya Sempat Dibuang
Munajab merupakan satu dari puluhan buruh tambak yang merasakan manfaat dari kehadiran Kampung Budidaya Rumput Laut Desa Kupang. Padahal, tahun 90-an rumput laut di Desa Kupang justru diacuhkan dan dibuang-buang. Para pemilik tambak lebih fokus kepada budidaya ikan bandeng dan udang.
Lantas, bagaimana ceritanya rumput laut kini menjadi produk unggulan dari Desa Kupang? Bahkan Kupang ditunjuk pemerintah setempat untuk menjadi Kampung Budidaya Rumput Laut serta dinobatkan sebagai satu dari puluhan Desa Devisa di provinsi Jawa Timur?
Kisah perjalanan budidaya rumput laut di Desa Kupang itu bermula ketika datang seorang pengusaha ke Desa Kupang dan menunjuk seorang petani tambak untuk membudidayakan rumput laut jenis Gracilaria sp.
Amin Tohari, pengurus “Samudera Hijau Satu”—Kelompok Pembudidaya Rumput Laut Desa Kupang, mengatakan waktu itu pertumbuhan rumput laut cukup bagus. Tapi setelah panen tak diambil oleh pengusaha tersebut, sehingga petani tambak membuang dan membagikan rumput laut itu secara cuma-cuma kepada siapapun yang berminat.
“Nah, yang dibuang itu akhirnya menyebar ke tambak-tambaknya orang,” terang Tohari kepada hidayatullah.com, Senin (5/12/2022).
Kala itu, Tohari melanjutkan, pemilik tambak di Desa Kupang masih banyak yang menganggap rumput laut sebagai hama—pengganggu bagi pertumbuhan udang maupun bandeng yang mereka budidayakan.
“Baru sekitar tahun 2000-an itu ada yang laku. Tengkulak pertama namanya Pak Wintari. Dulu harganya masih Rp 600 sampai Rp 800 per kilogram,” ujar Tohari.
Kemudian, sekitar tahun 2004, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo menunjuk Agus Rofiq dari Desa Kedung Cangkring dan Bustamin dari Desa Kupang guna membudidayakan rumput laut. Pertumbuhannya ternyata juga cukup bagus.
“Istilahnya, mereka sedang promosi. Tanam rumput laut itu begini caranya. Terus keuntungannya juga lumayan. Ada yang merespon, ada juga yang tidak. Tapi sejak itu memang mulai ada geliat dari petani tambak,” jelas Tohari.
Seiring berjalannya waktu, tahun 2009, terjadi kenaikan harga rumput laut. Petani tambak Desa Kupang pun ramai-ramai membudidayakan rumput laut Gracilaria sp tanpa harus menghentikan budidaya bandeng dan udang. Saat itu, harga jual dari petani tambak ke tengkulak mencapai Rp 7.500 sampai Rp 10.000 per kilogram.
“Setelah itu baru Pak Haji Mustofa terjun di dunia rumput laut. Seingat saya tahun 2013. Sebelumnya jadi penonton saja. Hanya budidaya udang dan bandeng,” kata Tohari.
Tohari mengatakan, saat Mustofa terjun ke budidaya rumput laut, banyak juragan rumput laut yang gulung tikar karena harganya anjlok. Meskipun begitu, Mustofa tak bergeming dan justru memiliki keinginan kuat mencoba budidaya rumput laut, dan ternyata berkembang sampai sekarang.
“Sejak Pak Haji Mustofa turun banyak dilirik oleh dinas maupun pengusaha. Tahun 2015 gencar-gencarnya,” jelas Tohari yang kemudian mulai ikut membudidayakan rumput laut pada tahun tersebut.
Dari Potensi 1.200 Hektar, Baru Tergarap 800 Hektar
Setelah suskes dikembangkan, potensi rumput laut di Desa Kupang ternyata amat besar. Bahkan, menurut Tohari, hasilnya dapat berkali-kali lipat dibanding dengan budidaya udang maupun bandeng yang sudah lebih dahulu dibudidayakan.
“Kalau bagus, tambak seluas 1 hektar itu mampu menghasilkan 2 ton rumput laut kering atau dari 1 kwintal (basah,-red) bisa menghasilkan 15 kilogram rumput laut kering,” jelas Tohari.
Di Desa Kupang sendiri, lahan tambak yang kini digunakan untuk pembudidayaan rumput laut sekitar 800 hektar dan dikelola oleh 167 pelaku utama Rumah Tangga Pembudidaya (RTP). Artinya, dari lahan seluas itu jika tergarap seluruhnya dengan baik, maka mampu menghasilkan 1.600 ton rumput laut kering.
Sementara, Tohari menambahkan, potensi lahan tambak yang bisa dimanfaatkan untuk budi daya rumput laut di tanah kelahirannya tersebut bisa mencapai 1.200 hektar.
“Untuk harga kering per kilogramnya dari petani itu variatif. Sekarang ini ada yang 6.000. Ada juga yang 6.300. Ya.., tergantung dari kualitasnya,” jawab Tohari ketika ditanya soal harga jual rumput laut kering dari para petani tambak ke tengkulak.
Mengenai siklus panennya, Tohari menjelaskan, rumput laut di Desa Kupang baru dapat dipanen setelah 2 bulan dari waktu tanam. Namun, dia menegaskan, untuk panen pertama, tidak boleh diambil semuanya. Tujuannya agar rumput laut yang baru ditanam tersebut dapat merata terlebih dahulu ke seluruh penjuru tambak.
“Sekali tanam, rumput laut dapat dipanen terus menerus. Itu nggak ada habisnya. Kecuali ada penyakit atau faktor alam. Seperti punya saya, itu tanam awal tahun 2015, sampai sekarang masih ada,” papar Tohari yang punya tambak warisan dari orangtuanya seluas 10 hektar.
Dicanangkan Sebagai Kampung Percontohan
Tak sekadar pemerintah setempat, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pun telah mencanangkan Desa Kupang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo sebagai percontohan Kampung Budidaya Rumput Laut.
“Pencanangan Kampung Budidaya Rumput Laut yang merupakan terobosan KKP ini diyakini dapat mendukung optimalisasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya di daerah,” terang Trenggono, dikutip hidayatullah.com dari siaran persnya.
Trenggono datang langsung ke lokasi budidaya rumput laut ini dalam rangka ingin menjadikan Desa Kupang sebagai kampung percontohan terkait budidaya rumput laut, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Di Desa Kupang sendiri, komoditas unggulannya adalah jenis Gracilaria sp (rumput laut merah) yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk keperluan industri modern, baik itu di bidang pangan maupun non-pangan.
“Total produksi rumput laut mencapai 200-500 ton per bulan dengan harga jual kurang lebih Rp 6.000 per kilogram. Perputaran ekonomi rumput laut di kawasan Jabon sekitar Rp 1,2-3 miliar per bulan,” jelas Trenggono.
Dengan mengusung konsep Corporate Farming, pencanangan kampung budi daya rumput laut di Desa Kupang ditargetkan bisa menjadi pemicu tumbuhnya aktivitas ekonomi turunan seperti usaha pengolahan dan sebagainya.
Menurut Trenggono konsep ini dilakukan dengan menyinergikan berbagai potensi guna mendorong berkembangnya sistem usaha perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan.
“Hasil utama tambak ini harus dikembangkan agar bisa menjadi contoh kampung budidaya yang semakin meningkat produktivitasnya. Untuk itu, KKP melalui DJPB melakukan pendampingan teknologi pada kegiatan polikultur guna meningkatkan nilai tambah,” jelas Trenggono.
Keberhasilan Desa Kupang baik sebagai Kampung Budidaya Rumput Laut maupun Desa Devisa yang memberikan kontribusi besar bagi perekonomian bangsa, tentu tidak lepas dari peran berbagai pihak salah satunya adalah PT Pertamina Gas atau Pertagas Eastern Java Area (EJA).
Berikut beberapa potret buruh tambak di Kampung Budidaya Rumput Laut Desa Kupang Sidoarjo:





