Hidayatullah.com– Polisi Pakistan menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan aksi protes yang digelar kaum wanita di Islamabad hari Kamis (21/12/2023).
Sedikitnya 200 orang ditangkap, termasuk pemimpin protes Mahrang Baloch, ketika mereka memasuki kota, lansir BBC.
Para pengunjuk rasa melakukan aksi jalan kaki selama berminggu-minggu guna memprotes penghilangan paksa kaum pria di Provinsi Balochistan.
“Kami memulai aksi jalan kaki lebih dari 26 hari yang lalu. Kami adalah ratusan dan ribuan ibu, saudara perempuan dan anak perempuan dari orang-orang yang hilang atau dibunuh.”
“[Pihak aparat] akan melakukan apa saja untuk menghentikan kami, tetapi kami tidak akan berhenti. Kami semua adalah pengunjuk rasa damai dan akan tetap melakukan aksi dengan damai, meskipun merek tidak bersikap ramah terhadap kami,” kata Mahrang Baloch kepada BBC sebelum ditangkap.
Para pengunjuk rasa dilarang memasuki Zona Merah – kawasan perkantoran lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif – di Islamabad oleh aparat kepolisian yang menggunakan pelindung lengkap dan dipersenjatai tongkat pentungan.
Rekaman video yang disebarkan di media sosial menampakkan situasi kacau ketika polisi menangkapi para demonstran dan menyeret mereka ke mobil-mobil polisi. Banyak di antara mereka terlihat menangis dan berteriak, sementara sejumlah pengunjuk rasa lainnya terduduk di tanah dengan luka-luka di tubuhnya.
Aksi protes itu dipicu oleh kematian seorang pria Baloch yang, menurut kerabatnya, ditembak mati saat berada di dalam tahanan kepolisian setelah sebelumnya dihilangkan secara paksa.
Penghilangan paksa di Balochistan – provinsi terluas di Pakistan – merujuk pada penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat intelijen, yang tidak dapat dilacak oleh pihak kehakiman dan “tidak diakui” oleh pemerintah. Korbannya beragam termasuk aktivis politik, jurnalis, aktivis HAM dan mahasiswa.
Penghilangan paksa ini sudah terjadi selama puluhan tahun, sejak kemunculan gerakan nasionalis Balochistan pada awal 2000-an.
Sejak itu pula kaum wanita Balochistan berusah mencari orang-orang tercinta mereka dan mengangkat isu itu agar mendapatkan perhatian internasional.
Kasus penghilangan paksa terakhir menimpa Balach Mola Bakhsh, 24, yang diciduk oleh aparat kontraterorisme pada 29 Oktober. Dia ditahan selama hampir satu bulan sebelum pihak berwenang menuduhnya menyimpan bahan peledak.
Pada 23 November, satu hari sebelum jadwalnya meminta pembebasan bersyarat dari tahanan, polisi mengatakan bahwa empat “teroris” dari “kelompok yang ditarget pemerintah”, termasuk Baksh, tewas dalam baku tembak dengan polisi di Turbat, sebuah kota di Balochistan. Keluarga Baksh membantah tuduhan terorisme itu dan mengatakan bahwa pemuda itu tewas saat berada di dalam tahanan kepolisian.
Warga yang geram dengan kesewenangan aparat akhirnya turun ke jalan guna menuntut diakhirinya aksi penghilangan paksa dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat. Mereka juga meminta agar aparat yang terlibat pembunuhan para pemuda Baloch dimintai pertanggungjawabannya.*