Hidayatullah.com– Senjata-senjata buatan China yang disuplai oleh Uni Emirat Arab (UEA) teridentifikasi berada di tangan kelompok paramiliter Sudan RSF, kata Amnesty International hari Kamis (8/5/2025).
Organisasi berbasis di Inggris itu mengatakan bahwa riset yang dilakukannya mendapati adanya penggunaan artileri canggih buatan China beserta bom-bom berpemandu oleh Rapid Support Forces dalam peperangannya melawan tentara reguler pemerintah Sudan, yang sekarang sudah memasuki tahun ketiga.
Amnesty mengatakan penelitiannya didasarkan pada senjata yang digunakan RSF dalam operasi di wilayah barat Darfur dan selama kekalahannya di ibu kota Khartoum pada bulan Maret.
“Persenjataan canggih China, yang diekspor kembali oleh Uni Emirat Arab, sudah disita di Khartoum, dan juga digunakan di Darfur dalam pelanggaran terang-terangan terhadap embargo senjata PBB yang masih berlaku,” kata Amnesty.
Melalui analisis terhadap video dan foto-foto yang merekam serangan-serangan RSF, Amnesty mengatakan pihaknya mengidentifikasi 155mm AH-4 howitzer dan bom GB50A buatan China.
Amnesty mengatakan bahwa satu-satunya negara di dunia yang mengimpor AH-4 howitzer dari China adalah UEA melalui kesepakatan tahun 2019, berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute.
Amnesty tidak menyebutkan apa pun tentang drone jarak jauh yang digunakan oleh paramiliter RSF untuk menyerang kota-kota yang dikuasai tentara reguler di timur dan selatan kurun beberapa hari terakhir.
Pada Kamis pagi, sejumlah drone menyerang pangkalan angkatan laut utama negara itu yang terletak di sebelah utara Port Sudan, markas pemerintah Sudan yang didukung militer, serta depot bahan bakar di kota Kosti, menurut dua sumber yang berbicara kepada AFP dengan syarat identitasnya tidak diungkapkan.
“Milisi melancarkan serangan drone lainnya terhadap Pangkalan Angkatan Laut Flamingo di utara Port Sudan,” kata seorang sumber kepada AFP secara anonim, menunjuk pada RSF.
Orang itu mengatakan dalam semalam pertahanan udara Sudan berhasil merontokkan 15 drone.
Port Sudan merupakan pintu utama bagi masuknya bantuan kemanusiaan. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa serangan-serangan yang terjadi mempersulit operasi kemanusiaan bagi masyarakat Sudan yang banyak mengalami kelaparan.
Selama lebih dari dua tahun peperangan di Sudan, puluhan ribu orang kehilangan nyawa dan 13 juta penduduk terpaksa kehilangan tempat tinggal mereka dan menjadi pengungsi, menurut data PBB.*