Malaysia berencana mendirikan sebuah jaringan televisi satelit dan membentuk satu tim media internasional untuk melawan laporan pemberitaan yang berat sebelah dari media Barat, demikian laporan surat kabar Malaysia, Jumat.
Menteri Penerangan Malaysia Khalil Yaakob, sebagaimana dikutip harian The New Straits Times, mengatakan, pemerintah telah lama menghendaki pembentukan satu jaringan pemberitaan mirip dengan televisi Arab Al-Jazeera atau jaringan televisi Cable News Network (CNN) yang bermarkas di AS.
Pembicaraan sedang berlangsung dengan para pengelola stasiun televisi di kawasan ini untuk mendirikan satu hubungan satelit, katanya.
“Ada beberapa fasilitas sejenis di Asia dan saya merasa waktunya telah tiba kita memiliki satu, dengan pertimbangan, status Malaysia sebagai satu negara berkembang yang maju,” kata Khalil.
Langkah itu muncul setelah pemerintah bulan lalu mengirim 30 wartawan lokal untuk meliput perang Irak, menyusul adanya laporan yang berat sebelah yang disajikan televisi British Broadcasting Corporation (BBC) dan CNN.
Khalil mengatakan, satu tim media permanen yang akan dibentuk untuk meliput konflik-konflik internasional untuk memperoleh “gambaran yang benar” dari situasinya.
“Kita harus mengerti bahwa Irak bukan satu akhir dari segalanya. Ada wilayah-wilayah `panas` lainnya di dunia di mana tim media Malaysia dapat dikirim,” katanya.
Dia mendesak kantor berita resmi Malaysia Bernama, yang dirancang untuk diperluas jangkauannya di seluruh dunia dan membuka kantor-kantor cabang di Timur Tengah, akan membantu untuk mendirikan tim itu.
Menteri Keuangan Jamaluddin Jarjis seperti dikutip oleh harian berbahasa Melayu, Berita Harian mengatakan bahwa laporan pemberitaan yang terdistorsi di Malaysia akan dapat menguncang kepercayaan pemodal asing dan berdampak terhadap ekonomi.
“Dengan memiliki satu tim Media Malaysia yang permanen, Malaysia akan dapat menjamin bahwa kepentingan strategis negara itu terlindungi,” katanya.
Pemerintah sebelumnya bimbang dengan majalah The Economist mengenai satu tulisan bulan lalu yang mengritik kepemimpinan Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
The Economist dalam terbitannya tanggal 5 April, memiliki satu laporan sebanyak 16 halaman berjudul “Pergantian Pengawal — Satu Kajian di Malaysia,” untuk menandai pemberhentian Mahathir pada Oktober setelah bertahun-tahun berkuasa.
Pemimpin veteran Asia Tenggara itu telah bersumpah untuk menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya Abdullah Ahmad Badawi setelah negara itu menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OIC), 11 hingga 14 Oktober mendatang.
Mahathir, yang mulai kembali bekerja, Senin, setelah cuti selama dua minggu, telah mengecam mingguan yang barmarkas di London itu atas pandangan-pandangannya, tetapi mengatakan tidak ada rencana untuk melarangnya.
“Ini sungguh-sungguh kotor,” katanya dalam pernyataannya yang dilansir media, Jumat.
“Apa yang mereka tertarik adalah menurunnya kondisi rakyat, kritis dan dengan cara itu mereka dapat menjual majalah mereka yang bodoh,” katanya.
“Tidak ada gunanya mencoba meyakinkan mereka karena mereka tidak akan pernah mengerti. Mengapa? Karena sikap orang putih itu — bahwa orang putih itu lebih pintar dan kulit berwarna orang-orangnya seperti kita.”
Tulisan yang mengganggu itu mendesak bahwa “Pejabat Besar Dr Mahathir dapat menyerahkan Malaysia setelah seluruh tahun-tahun ini dia akan berhenti dan titik.”
Juga diusulkan agar Mahathir dipasang sebagai Sekjen OIC setelah pemberhentiannya untuk “mengeluarkan dia dari negara ini.” (ant/gtr/cha)