Hidayatullah.com–Selain itu, mereka juga menuntut supaya RUU Anti-Terorisme dibatalkan karena dapat menyebabkan negara tersebut terus diawasi kepolisian.
Dalam satu memorandum yang diserahkan kepada Presiden Kibaki, sebanyak 58 pemimpin Islam setempat mengatakan, agen FBI harus keluar dari negara itu karena pihak keamanan negara Kenya mampu menjalankan fungsinya sendiri secara mandiri.
Dalam mengulas memorandum itu, Presiden Kenya memberi jaminan bila RUU itu akan diperbaiki sebelum diserahkan kepada pihak Parlemen.
Kibaki juga mengatakan, di bagian mana RUU tersebut yang dapat menyulitkan penduduk Kenya akan dikeluarkan setelah dilakukan kajian.
Isu menyangkut RUU itu berkembang setelah adanya hubungan antara FBI dan RUU Anti-Terorisme setelah pihak Majelis Agung Muslim Kenya, Sheikh Juma Ngao mengunjungi Presiden di Mombasa.
Presiden itu juga turut meminta orang Islam membantu pihak pemerintah dalam kampanye pendidikan sekolah dasar guna memastikan lebih banyak anak-anak di negara itu dimasukkan ke sekolah.
Turut menyertai delegasi tersebut adalah Mohamad Kidzeru, Amir Juma Fundi, Sheikh Badawy, Sheikh Amir Khamis Banda, Khamisi Mwaguzo, Sheikh Salim Mwarangi dan Sheikh Yusuf.
Pemimpin itu juga menentang penggunaan intelijen asing dalam memburu apa yang disebut AS sebagai teroris, karena mereka menilai undang-undang yang ada di Kenya dapat mencukupi polisi menangani segala tindakan kejahatan.
“Kami melihatnya (RUU itu) sebagai usaha memperkecilkan agama dan menjadi alat kekuasaan.
“Saat ini, banyak orang Islam ditahan dan dibebaskan setelah mereka dan keluarganya disiksa,” katanya.
Dalam memorandum itu, para pemimpin Islam itu mendakwa, warga muslim kini tengah menghadapi diskriminasi pihak pemerintah terutama dalam mencari bantuan keuangan dari donor internasional, dibandingkan dengan pihak Kristen.
“Gereja dibolehkan menerima dana dari Eropa dan Amerika sementara orang Islam dilarang mendapatkan bantuan keuangan dari negara Islam lain,” katanya.
Para ulama itu menuduh ini berkaitkan dengan tekanan Amerika di negaranya.
Tindakan diskriminatif ini dinilai telah menjadikan beberapa institusi Islam telah menutup kegiatannya. (eas)