Hidayatullah.com–Sebuah website pendukung, Croby Schapelle mengajak untuk memboikot produk Indonesia dan menghalang-halangi diplomasi Indonesia di seluruh dunia. Website yang mengaku telah didukung tandatangan 60.000 orang sebagai dukungan pada Corby ini juga menganggap hukuman 20 tahun penjara pada Corby adalah tindakan melawan hukum.
Para pendukung Corby ini mengajak masyarakat Australia mengopi petisi dukungan terhadap Corby dan meminta mendistribusikannya ke seluruh masyarakat, kalangan gereja, kantor, komunitas olah raga dan publik di stasiun kereta api.
Situs yang beralamat di http://www.dontshootschapelle.com/petition.html dan http://www.petitionspot.com/petitions/corby telah membuat petisi yang ditandatangi 20 ribu supporter nya. ini juga menampilkan polling yang hasilnya menunjukkan, Schapelle Corby bukanlah orang yang bersalah (99.95% dari 166.146 orang) dan sisanya, menganggap bersalah (0.05%)
Schapelle Leigh Corby, warga Australia yang akhirnya diganjar 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh Pengadilan Negeri Denpasar Bali setelah dianggap bersalah dan melanggar Pasal 82 Ayat 1a UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotik. Corby ketahuan membawa barang haram itu masuk Indoneasia.
Ancaman Anthrax
Sayangnya, keputusan pengadilan itu ditanggapi amarah warga Australia dan pendukung Coby. Kemarin, Rabu (1/6), Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra, Australia dikirim paket berisi bakteri kuman Anthrax. Akibatnya, dua uluh dua staf KBRI di harus menjalani karantina untuk menentukan mereka benar-benar yang terjangkit virus.
Akibat peristiwa ini, KBRI di Canberra kemarin sempat ditutup setelah paket itu diidentifikasi sebagai bakteri bacillus yang masuk kategori Anthraks..
Akibat peristiwa ini, Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer dan Perdana Menteri Australia, John Howard telah meminta maaf kepada Indonesia. Howard mengatakan serangan itu "sembrono" dan tidak akan membantu kasus Corby.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa juga mengecam pengiriman serbuk berbahaya ke kedutaan besar RI di Canberra itu. "Jelas tujuannya adalah untuk mengintimidasi kedutaan dan jawaban kita juga jelas bahwa kita tidak akan tunduk terhadap upaya intimidasi seperti ini," kata Marty. "Itu sikap pengecut, "kata Marty.
Meski Indonesia kini menghadapi teror dari warga Australia, namun sikap Indonesia tidak emosional dan berjanji tetap akan membuka Kedubesnya. "Kami tak akan seperti negara lain yang sebentar-sebentar menutup Kedubesnya, "tambah Marty dalam wawancaranya dengan Metro TV.
Tindakan warga Australia yang emosional itu tak sebanding dengan perlakukan pemerintahnya terhadap WNI di negara itu. Tahun 2002 lalu, aparat intelijen Australia, ASIO (Australian Security Intelligence Organisation), semacam BIN di Indonesia, sempat menggeledah semua warga negara Australia yang berasal Indonesia dan mengaitkan mereka dengan Jamaah Islamiyah (JI).
Perlakuannya tak hanya itu, WNI di negara itu juga mengalami pelecehan dan tindakan tak menyenangkan di tempat-tempat umum. Namun tak satupun lembaga atau suara masyarakat Kangguru itu yang mengecam tindakan aparat. (cha)