Hidayatullah.com—Walaupun sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus tahun, menjadi bagian masyarakat di kawasan yang paling beragam etnis dan agamanya, Muslim di Burma (Myanmar) khawatir menjadi “kambing hitam” dalam proses reformasi di negara itu, menyusul gelombang kekerasan yang menimpa mereka dari tahun ke tahun.
“Seluruh Muslim yang tinggal di Myanmar mengkhawatirkan hal ini. Apa yang akan terjadi dengan agama kepercayaan kami? Bagaimana bisa kami hidup di lingkungan Buddhis?” kata Nyut Maung Shein, pimpinan Dewan Urusan Agama Islam Myanmar, dikutip AFP Ahad (14/4/2013).
“Mengapa kami begitu menderita, di mana para pria dan wanita, anak-anak, serta pelajar kami dibunuhi secara brutal. Muslim menjadi kambing hitam dalam periode transisi dari junta brutal [sebelumnya],” katanya lagi.
Islamophobia -yang sebenarnya sudah lama terjadi di Burma- menjadi tantangan terbesar Presiden Thein Sein yang menjabat sejak dua tahun lalu setelah rezim militer yang kejam berakhir. Meskipun berlatar belakang militer, Thein Sein berjanji tidak akan menggunakan kekuatan militer dalam memerintah.
“Kami tertekan dengan ketakutan, penderitaan dan ketidakpastian,” kata Kyaw Nyein, konsultan hukum dan anggota senior Jamiat Ulama Al-Islam (dewan ulama Burma).
“Walaupun pemerintah berniat untuk mengobati sakit itu, ini akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun,” imbuhnya.
Warga Muslim Myanmar diperkirakan mencapai 4 persen dari sekitar 60 juta jiwa total populasi negara itu. Namun, menurut organisasi-organisasi Muslim angkanya kemungkinan lebih banyak lagi, terutama di Yangon (Rangoon) bekas ibukota negara yang juga menjadi pusat bisnis.
Di Meikhtila, tempat kekerasan terhadap Muslim oleh Buddhis baru-baru ini terjadi, jumlah pemeluk Islam sekitar 30 persen. Banyak dari mereka merupakan keturunan India, Bangladesh dan bahkan China yang sudah tinggal di sana sejak penjajahan Inggris dan bahkan sebelumnya.
Apapun latar belakang sejarah warisannya, Muslim secara umum dianggap sebagai orang asing di Myanmar, kata Alexandra de Marsan seorang antropolog di National Institute of Oriental Languages and Civilizations di Paris.
Sementara warga Buddhis menuding ada islamisasi di Myanmar, menurut De Marsan justru sebaliknya.
“Ada sangat sedikit sekali (angka) pindah agama ke Islam di Myanmar,” papar De Marsan. “Kebanyakan Muslim [di Myanmar] merupakan keturunan orang India dan negara-negara lain.”
Yangon dianggap sebagai daerah yang “paling aman” untuk Muslim. Namun, awal April ini sebuah madrasah yang menampung anak yatim dan mengajarkan santrinya hapalan Qur’an justru dibakar oleh orang tidak dikenal, menyusul kerusuhan di Meikhtila. [Baca berita sebelumya: Madrasah Yatim Burma di Yangon Dibakar 13 Hufadz Wafat]*