Hidayatullah.com–Kelompok hak asasi manusia (HAM) menuduh pemerintah China mendapatkan keuntungan perdagangan melalui penjualan alat-alat penindasan.
Amnesty International dan Yayasan Riset Omega yang berbasis di Inggris belum lama ini telah menyelidiki apa yang disebut Tiongkok sebagai bentuk hukuman dan perkembangan signifikan perdagangan alat-alat penindasan buatan Tiongkok, yang memicu pelanggaran HAM di Asia dan Afrika.
Laporan yang bertajuk “hukuman dan perdagangan alat penindasan Tiongkok” tersebut menemukan lebih dari 130 perusahaan Tiongkok terlibat dalam perdagangan dan produksi sarana penegakan hukun yang berpotensi bahaya.
Perusahaan seperti ini hanya ada 28 perusahaan pada satu dekade silam di Tiongkok. Laporan terkait menuturkan bahwa kontrol ekspor Tiongkok terkait sarana penegakan hukum terlalu longgar, dan kurang transparansi.
Lagipula Tiongkok tampaknya tidak mempertimbangkan situasi HAM negara pengimpor ketika mengekspor peralatan ini.
Patrick Walcon, peneliti masalah HAM dan perdagangan keamanan organisasi HAM Amnesty International dikutip BBC mengatakan, semakin banyak perusahaan Tiongkok mendapatkan keuntungan dari perdagangan alat-alat penindasan, sehingga berkontribusi bagi pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia.
Laporan terkait secara khusus menyebutkan Tiongkok mengekspor dalam jumlah besar peralatan anti huru-hara ke Uganda pada 2011 lalu, dan mereka tidak mempertimbangkan fakta penyiksaan dan perlakuan buruk yang dilakukan polisi Uganda.
Selain itu, laporan terkait juga menyebutkan bahwa Kongo juga menggunakan alat anti-huru-hara buatan Tiongkok untuk menekan pembangkang dalam pemilu pada 2011 lalu, dan menewaskan setidaknya 33 orang, sementara 83 lainnya luka-luka dalam kekerasan yang terjadi ketika itu.
Menurut laporan tersebut, Tiongkok tidak lagi mempublikasikan statistik terkait insiden masal, namun, insiden masal yang terjadi di Tiongkok akhir-akhir setiap tahunnya ada sekitar 30.000 – 180.000 orang turun ke jalan. Protes yang dilakukan kelompok minoritas di Tibet, Uighur, dan Mongolia ditindak secara brutal oleh otoritas setempat dengan kekerasan yang berlebihan, dan melanggar aturan PBB terkait penegakan hukum dan penggunaan kekuatan polisi.
Menurut laporan tersebut, peralatan yang dijual di pasar bebas oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok ini di antaranya meliputi tongkat listrik, tongkat polisi dengan besi berduri, dan rantai kaki. Sebagaimana diketahui, alat-alat yang digunakan ini bersifat kejam dan tidak manusiawi, dan seharusnya dilarang.
Menurut laporan media Tiongkok, pasar yang disebut sebagai alat-alat untuk aparat keamanan di dalam negeri Tiongkok terdapat kekacauan dalam peraturan. Banyak perusahaan di bidang manufaktur tidak mematuhi undang-undang yang relevan dan tidak mendapat izin dari otoritas setempat dalam proses produksi maupun penjualan sarana kepolisian.
Meskipun Tiongkok menerapkan sistem monopoli terhadap peralatan polisi, namun laporan media mengungkapkan bahwa pentungan, tongkat listrik, peralatan sengatan listrik, dan berbagai peralatan polisi imitasi dapat diperoleh melalui belanja online di Tiongkok.
Makin banyak perusahaan China mendapatkan keuntungan dari perdagangan alat-alat penindasan, sehingga berkontribusi bagi pelanggaran HAM di belahan dunia.*