Hidayatullah.com– Wakil-wakil rakyat Iraq di parlemen hari Ahad (6/11/2022) memulai pembahasan rancangan undang-undang yang akan menghidupkan kembali program wajib militer di negara itu, hampir 20 tahun setelah dihentikan.
Berdinas dalam angkatan bersenjata merupakan kewajiban di Iraq mulai dari tahun 1935 sampai 2003, ketika pasukan asing pimpinan Amerika Serikat menggulingkan kekuasaan Saddam Hussein.
RUU itu akan membuka jalan untuk mewajibkan setiap pria warga negara Iraq berusia 18-35 tahun, selama 3 sampai 18 bulan – tergantung tingkat pendidikannya – mengikuti kegiatan kemiliteran, kata anggota parlemen Yasser Iskander Watout kepada AFP.
Mereka akan mendapatkan tunjangan mulai dari 600.000 sampai 700.000 dinar Iraq (lenih dari $400), imbuh Watout, anggota komisi pertahanan.
Dia mengatakan butuh waktu fua tahun sebelum program wajib militer mulsi diberlakukan sepenuhnya, seraya menambahkan bahwa anak lelaki satu-satunya dan pencari nafkah utama keluarga yang akan dikecualikan dari kewajiban itu.
Sejak Saddam Hussein digulingkan dan dibunuh di tiang gantungan – disaksikan oleh tokoh-tokoh Syiah Iraq – negeri 1001 malam itu dilanda perang sektarian, dan kelompok ISIS beroperasi di sebagian besar wilayah negara itu sebelum akhirnya dikalahkan pada akhir 2017 oleh pasukan pemerintah Iraq dibantu pasukan militer asing pimpinan Amerika Serikat.
Pasukan asing yang berkoalisi memerangi ISIS memainkan peran langsung di medan pertempuran sampai Desember 2021. Namun, Amerika Serikat saat ini menempatkan sekitar 2.500 tentaranya di Iraq dengan alasan memberikan pelatihan, nasihat dan asistensi kepada tentara nasional Iraq.
Terlepas dari kemenangan yang diumumkan kubu pemerintahan, ISIS terus melakukan serangan intermiten terhadap pasukan pemerintah dan mantan paramiliter Hashed al-Shaabi, yang sekarang terintegrasi ke dalam pasukan reguler.
“Ancaman teroris” yang terus-menerus ini mendorong anggota parlemen Sikfan Sindi – dalam wawancara baru-baru ini dengan kantor berita negara INA – menyerukan pemulihan dinas wajib militer.
RUU itu awalnya diajukan oleh Kementerian Pertahanan pada Agustus 2021, kala itu Iraq di bawah kepemimpinan Mustafa al-Kadhemi sebagai perdana menteri.
Iraq akhir tahun itu memilih parlemen baru, tetapi baru bulan lalu dilantik dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Mohammed Shia al-Sudani setelah satu tahun mengalami kelumpuhan politik.
Tidak jelas apakah RUU itu nantinya akan mendapat dukungan parlemen. Namun yang jelas, sudah ada suara penentangan dari sejumlah tokoh.
“Militerisasi masyarakat tidak akan menciptakan patriotisme,” kata anggota parlemen Saeb Khidr dari minoritas Yazidi, salah satu komunitas yang menjadi target ISIS, kepada AFP.
Di negara di mana hampir empat dari 10 orang muda menganggur, mantan menteri kelistrikan Louai al-Khatib menyarankan bahwa lebih penting untuk “menciptakan pusat pelatihan profesional” daripada mewajibkan para pemuda ikut pelatihan militer.*