Hidayatullah.com—Semua orang, terutama orang tua pada hakekatnya adalah seorang guru. Sebab orang tua berkewajiban mendidik anak dan keluarga agar selamat dari api neraka.
“Kita semua adalah guru. Guru dalam arti umum bahwa kita berkewajiban menjadi pendidik, minimal pendidik di keluarga kita,” demikian disampaikan Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun BogorDr Adian Husaini saat membuka materi di Hari Guru Nasional yang dikemas dalam Tabligh Akbar “Guruku Pahlawanku” di Masjid Istiqlal, Jakarta Sabtu (21/11/15) lalu.
Adian yang membawakan materi “Peran Seorang Guru dalam Pendidikan Islam” menjelaskan kepada para jamaah tentang penyakit yang cukup berbahaya yang menimpa kita umat Islam, bahkan menurutnya telah menimpa bangsa ini. Yaitu penyakit sekolahisme.
Menurutnya, sekolahisme, penyakit yang menyamakan mencari ilmu dengan sekolah. Padahal Rasulullah mengatakan kewajiban mencari ilmu bagi setiap Muslim dan menjelaskan tidak sedikit yang menerjemahkan hadits ini dengan mencari sekolah itu wajib, sehingga orang tua sibuk mencari sekolah untuk anaknya, sibuk mencari pesantren untuk anaknya, sibuk mencari kampus untuk anaknya.
Padahal yang diwajibkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam itu mencari ilmunya, bukan sekolahnya. Sementara ilmu yang dicari itu mungkin ada di sekolah mungkin juga tidak ada.
“Kalau dia cari sekolah, belum tentu dia dapat ilmu yang diwajibkan,” jelasnya di Masjid Istiqlal.
“Kita semua adalah guru, kita semua adalah orang orang yang mendapatkan amanah, karena tugas kita yang paling berat adalah menjaga diri dan kelurga dari api Neraka,” demikian kutipnya.
Adian mengutip Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a yang pernah mengunkapkan, “Didiklah keluargamu itu dengan adab dan didiklah keluarga kita itu menjadi orang-orang berilmu.”
Karena itu, kewajiban kita semua menjadi guru. Sebab kita semua wajib mendidik keluarga kita, anak-anak kita menjadi manusia-manusia yang beradab dan menjadi orang-orang berilmu.
Ia mengaku menyaksikan betapa banyaknya orang tua yang tidak tau bagaimana harus mendidik anaknya agar beradab dan berilmu, taunya hanya mengirim ke sekolah, ke pesantren kemudian menganggap dengan itu sudah cukup. Akibatnya banyak orang tua yang dia tidak mau ngaji, tidak mau belajar. Karena merasa yang harus mendidik anaknya itu guru. Sementara dia menganggap tidak berprofesi sebagai guru.
“Ini keliru besar, ini salah besar,” terangnya masih menjelaskan masalah penyakit sekolahisme.
Tak lupa Adian mengingatkan pemerintah yang mencanangkan pendidikan karakter untuk merujuk agama. Bukan membuat konsep sesuka hati.
“Kalau kita mau mendidik karakter, serahkanlah pendidikan karakter itu pada agama, “ ujarnya.
Di sisi lain, ia banyak memperhatikan bagaimana banyak guru di Indonesia menjadikan tugas mengajar (guru) sebagaimana tukang. Padahal, guru itu kerja intelektual bukan tukang ngajar. Karenanya, dengan menjadi guru itu seorang harus cerdas dan terus mencari ilmu.*/M Rifa’I Fadhli