Hidayatullah.com– Petugas Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polresta Bogor, Briptu Ahmad Hamdani, dihadirkan sebagai saksi pada sidang keenam kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (17/01/2017).
Polisi yang telah berdinas 7 tahun tersebut dicecar berbagai pertanyaan oleh Majelis Hakim dan Tim Jaksa, terkait adanya kekeliruan penulisan waktu kejadian dalam Laporan Polisi (LP) No. 1134 yang dibuat oleh saksi atas nama pelapor Willyudin Abdul Rasyid Dhani.
Saksi, bahkan, oleh salah satu Anggota Majelis Hakim ditanya mengenai salahnya saksi dimana, karena waktu kejadian yang tertulis dalam LP lebih dulu dari waktu kejadian di Kepulauan Seribu tanggal 27 September 2016.
Saksi membenarkan bahwa pengetikan LP 1134 hanya copy–paste dari LP sebelumnya dan hanya mengganti-ganti saja mengikuti format LP yang sudah ada.
Pada saat mengetik LP itu, saksi juga membenarkan tidak mencocokkan hari dan tanggal kejadian dengan kalender yang ada di ruangannya, lansir Islamic News Agency (INA), kantor berita yang diinisiasi Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Dilansir Antaranews, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada persidangan kasus Ahok itu bertanya kepada dua anggota Polresta Bogor soal laporan dari Willyudin yang sempat dipermasalahkan itu.
Dua anggota Polresta Bogor masing-masing Bripka Agung Hermawan dan Briptu Ahmad Hamdani menjadi saksi perdana dalam sidang lanjutan kasus Ahok itu.
Hamdani menjelaskan bahwa Willyudin datang bersama empat rekannya untuk melaporkan Ahok soal video pidato Ahok di Kepulauan Seribu.
Pemanggilan dua anggota polisi itu merupakan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara setelah adanya ketidaksesuaian data.
Seharusnya Polisi Profesional
Menanggapi hal ini, Ketua Tim Persidangan GNPF MUI Nasrullah Nasution, yang hadir dalam ruang sidang menyampaikan, seharusnya polisi yang bertugas di bagian SPK adalah polisi yang profesional.
Menurutnya, saksi harus lebih teliti dalam mengetik LP yang dibuat masyarakat. Jangan hanya sekadar jadi juru ketik saja tanpa cek dan ricek.
“Pelapor sudah mencoret dan minta diperbaiki kesalahan tulis bulan dari September menjadi Oktober kok, tapi polisinya enggak merubah. Jadi semakin keliatan, kan, ketidakprofesionalannya,” ujarnya kepada INA.
Advokat yang akrab dipanggil Nasrullah ini memastikan, saksi telah mengakui ada 2 waktu kejadian yang dilaporkan pelapor. Yaitu 27 September 2016 di Kepulauan Seribu terkait penistaan agamanya dan 6 Oktober 2016 di Bogor terkait waktu pelapor menyaksikan video di Youtube.
Nasrullah menegaskan, hal ini semakin jelas membuktikan kebenaran materiilnya. Jadi persoalan kekeliruan polisi menuliskan bulan di dalam LP dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim.
Apalagi dalam persidangan terungkap, pelapor telah menyerahkan kronologi tertulis kepada saksi sebagai panduan pengetikan LP.
“Dalam kronologi sudah jelas tertulis 06 Oktober 2016, jadi perlu ditanyakan alasan kepada polisi tersebut mengapa menulis 06 September 2016,” pungkasnya.* Fajar Shadiq/INA