Hidayatullah.com– Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mudzakir mengungkapkan, perilaku seks menyimpang LGBT bertentangan dengan norma hukum perkawinan di Indonesia, sebagaimana termuat dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terutama dalam Pasal 1 dan Pasal 2.
“Jika tidak ada pasal itu barangkali norma delik kesusilaan seksual (zina dan LGBT) mungkin tidak bisa didelik, karena tidak ada cantolan hukumnya,” ujarnya dalam seminar bertema ‘Zina dan LGBT dalam Tinjauan Konstitusi’ di Gedung Nusantara V MPR RI, Senayan, Jakarta, baru-baru ini.
Baca: Instrumen Hukum Pidana Dinilai Bisa untuk Membina LGBT
Karenanya, terang Mudzakir, hubungan seksual yang dianjurkan pada norma hukum itu adalah berdasarkan UU Perkawinan.
Yakni hubungan yang terikat status perkawinan, dan juga dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Ia menyampaikan, kalau tidak ada UU Perkawinan mungkin akan sulit berbicara pengaturan zina dan LGBT.
“Atas dasar itulah maka kita berbicara tentang pemuatan larangan zina dan LGBT,” imbuhnya.
Baca: Jika LGBT Tak Diatur KUHP, Umat Perlu ke Jakarta Lagi Seperti Aksi 212
Mudzakir menambahkan, dalam pembentukan sistem hukum nasional terdiri dari cita hukum, nilai hukum, asas hukum norma hukum, dan teks hukum.
“Misalnya UU Perkawinan, bisa dilihat tujuannya apa, turun menjadi nilai hukumnya apa, turun menjadi terikat asas hukumnya, turun menjadi norma hukumnya, dan turun menjadi teks hukumnya,” paparnya.
“Jadi RUU KUHP yang kita bahas saat ini harus dalam konteks itu. Kalau tidak nanti nilai hukumnya akan cabang ke yang lain, dari Barat, intrumen internasional, dan sebagainya,” tambah Mudzakir.*
Baca: Mantan Ketua MK: Pengaturan Pidana LGBT Sesuai Amanat Konstitusi