Sambungan dari tulisan pertama
Hidayatullah.com– Menurut Anda, apa sebenarnya masalah krusial dalam perekonomian bangsa ini?
Ada dua masalah utama. Yang pertama itu adalah masalah karakter. Itu yang disebut masalah kultural.
Jadi, karakter bangsa Indonesia yang memang anak-anak (bangsa) tidak memahami bahwa produk sendiri harus dibela, harus diutamakan. Ini sangat melekat sekali dalam karakter gitu.
Yang kedua masalah struktural atau sistem. Mulai dari Undang-Undang Dasar yang diamandemen hingga lahirnya 70 undang-undang yang tidak berpihak kepada kepentingan nasional gitu, kepada kepentingan anak kita sendiri.
Nah, ini menjadikan (situasi ekonomi bangsa) semakin berat. Dari persoalan karakter ini, karakter pemimpin-pemimpin bangsa kita juga, kan, tidak memberikan contoh atau memberikan komitmen yang memadai.
Apa saja contoh 70 UU yang tidak memihak kepentingan nasional tersebut?
Berbicara tentang UUD 1945, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan UGM, UUD 1945 telah berubah menjadi UUD baru karena prosentase perubahannya mencapai 87,5 persen.
Sejak amandemen pertama hingga amandemen ke-4 tahun 2002, telah lahir lebih dari 70 UU pro asing.
Inti dari hal itu adalah upaya untuk meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Seperti, UU tentang migas, kelistrikan, telekomunikasi, perbankan dan keuangan, pertanian, serta sumber daya air. Akibatnya telah dirasakan oleh masyarakat saat ini.
Sebagai contoh, dalam sektor perbankan kepemilikan asing boleh hingga 99 persen. BII 97,5 persen sahamnya dimiliki MayBank, Malaysia. Bang Niaga kini menjadi CIMB Niaga, 97,9 persen dimiliki CIMB Group, Malaysia juga.
Bank Ekonomi 98,94 persen sahamnya HSBC Holding Plc. Bank NISP kini menjadi OCBC NISP, 85,06 persen sahamnya dimiliki OCBC Bank, bank terbesar kedua di Singapura.
Bank Swadesi kini telah beralih menjadi Bank of India Indonesia, 76 persen sahamnya dimiliki Bank of India. [Baca juga: OJK: Indonesia Harus Miliki Bank Syariah Berskala Besar]
Coba bandingkan aturan kepemilikan bank di Malaysia yang hanya membolehkan kepemilikan maksimal 30 persen saja. Atau (bandingkan) dengan Amerika, yang dikenal biangnya liberal, juga hanya membolehkan maksimal 30 persen kepemilikan asing. Bahkan, Singapura hanya membolehkan 15 persen kepemilikan maksimal (oleh asing).
Kita tahu bank-bank itu menghimpun dana dari masyarakat. Bagaimana jika kondisi ekonomi sangat buruk dan negara harus melakukan talangan melalui bank, apakah yakin akan sampai ke masyarakat? Ingat kasus BLBI? Dana talangan yang akhirnya dibawa kabur oleh para pemilik bank.
Di sektor pertanian lain lagi ceritanya. Petani dibiarkan bertarung sendiri, sedangkan subsidi terhadap pupuk, bibit, berangsur-angsur terus dikurangi. Nasib petani menjadi sangat rentan.
Kehidupan bangsa kita akan dikuasai bangsa lain. Kita akan sangat tergantung pada impor akibat liberalisasi yang dilakukan.
Atau sebut saja UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, yang menyebutkan sektor migas dan pertambangan boleh dikuasai korporasi asing hingga 95 persen.
(UU ini) memberikan kemudahan bagi asing dalam mengelola migas di Indonesia, sangat merugikan bangsa sendiri dan tidak mencerminkan kedaulatan ekonomi.
Belum lagi bidang telekomunikasi dan aset-aset strategis milik bangsa yang lain. Satu per satu jatuh ke tangan asing, akibat aturan-aturan yang lebih berpihak kepada mereka ketimbang pada bangsanya sendiri (Indonesia. Red).
Contoh UU lainnya…
Contoh lain adalah Kepres No 48 Tahun 2004 yang membuka Indonesia sebagai pasar bebas di tengah lemahnya sektor swasta dalam negeri. Diikuti Permerindag No 39 tahun 2010 yang membebaskan lebih dari 54.457 pos.
Ditambah lagi PMK No 261/PMK/011/2010 yang mengatur bahwa bahan baku dikenakan bea masuk, barang jadi dinolkan beanya. Ini semakin memperparah kondisi rakyat dan bangsa Indonesia.
Benang merah lahirnya UU pro asing adalah semua UU tersebut memungkinkan adanya pengaruh asing yang sangat kuat dalam kebijakan, dari hulu hingga hilir.
Sehingga, penataan ekonomi tidak lagi berpihak pada anak bangsa sendiri. Ladang subur tumbuhnya kapitalisme dan liberalisme. Termasuk UU yang berkenaan dengan politik, yang mengadobsi “one man, one vote”, yang jelas-jelas tidak menjiwai dasar negara, Pancasila, sila keempat.
Oleh sebab itu, penting pada bangsa Indonesia menyadari bahwa UUD 1945 telah tiada dan berganti menjadi UUD 2002. Sehingga kami mengajak segenap pihak untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli.
Jadi, kedua masalah krusial itu, secara internal dan eksternal, hendak diretas oleh Beli Indonesia?
Ya, Beli Indonesia paling tidak melakukan apa yang bisa dilakukan, sekecil apapun itu kita lakukan.* [Baca juga: Heppy Trenggono: Kesadaran Masyarakat Penting Atasi Masalah Ekonomi Bangsa]