Biar kerjaku begini, biar gajiku segini
Yang penting halal untukmu yang ku beri
Pedih ya memang pedih, letih jangan ditanya lagi
Yang penting halal untukmu yang ku beri
Lirik yang digubah Wali Band dalam lagunya yang berjudul “Yang Penting Halal” di atas sungguh memberi makna mendalam dan komprehensif.
Seorang sahabat menulis status di akun media sosialnya;
Semakin lama semakin sadar. Status yang paling berharga adalah muslim/mu’min yang diberi hidayah dan taufiq untuk selalu mentauhidkan Allah dalam segala keadaan.
Kadang jadi tukang es,
Kadang jadi sopir #… #…
Sabodo soal status lah. Yang penting bisa shalat lima waktu berjamaah di masjid, dan bawa rezeki halal untuk keluarga.
Demikianlah sikap teguh yang harus dipegang oleh setiap kaum Muslimin, sehingga hidup bukan untuk selain Allah.
Tinggi rendah pangkat, status sosial, dan perbendaharaan harta (properti) hanya berlaku dalam pandangan manusia, tidak dalam pandangan Allah. Bagi Allah hanya taqwa saja yang menentukan. Dengan kata lain, isilah hidup ini dengan beragam aktivitas halal, bermanfaat dan maslahat sesuai sunnah Nabi-Nya. Alias jangan sampai Allah marah terhadap kita, apalagi hanya gara-gara soal dapat rezeki.
Jalaluddin Rumi dalam bukunya yang berjudul “Fihi Ma Fihi” menjelaskan bahwa seorang ulama pun bisa jatuh dalam pandangan Allah jika yang dituju dalam hidupnya justru malah selain-Nya.
“Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantung kepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para pemimpin. Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin, agar diberi penghormaan dan jabatan yang tinggi. Mereka mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin.”
Lihatlah bagaimana para ulama terdahulu menjaga dirinya dari mencari perhatian, pujian dan ridha para pemimpin.
Imam Malik (179 H) diminta Khalifah Harun Ar Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar Hadits kepadanya. Tidak hanya menolak datang, ulama yang bergelar Imam Dar Al Hijrah itu malah meminta agar Khalifah yang datang ke rumahnya untuk belajar, ”Wahai Amiul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi.”
Seperti Imam Malik, Imam Bukhari mengatakan, “Jika putra sultan ingin belajar, hendaknya ia datang dimana majelisku diselenggarakan.” Dan, sebab itulah perawi hadits terbaik umat itu harus rela diusir dari kampung halamannya hingga meninggal dunia dalam perantauan.
Demikianlah sikap yang harus teguh dipegang oleh siapapun, yakni menjalani hidup ini sesuai dengan ketentuan-Nya. Jangan sampai ada alasan mengemuka karena ingin memberi makan keluarga, riba diusahakan, judi dilakukan, dan korupsi dibiasakan. Sebab, andai pun yang dalam angan-angan dapat diwujudkan, apa artinya semua itu jika Allah marah!
Jangan sampai menyesal luar biasa seperti yang dirasakan oleh para tawanan Islam, ketika Rasulullah berkata kepada mereka.
“Pada mulanya, kalian susun kekuatan, membentuk para tentara, membuat formasi kemiliteran, kalian begitu percaya diri dengan kejantanan, keberanian, dan kekuatan yang kalian miliki, lalu berkata pada diri sendiri; ‘Inilah yang akan kami lakukan, kami akan hancurkan orang-orang Islam dan menaklukkan mereka.’
Tapi kalian tidak melihat keberadaan Yang Maha Kuasa, yang jauh lebih berkuasa dari kalian. Kalian tidak tahu keberadaan Yang Maha Kuat, yang kekuatan-Nya jauh di atas kekuatan kalian. Itulah yang membuat semua yang kalian rencanakan sepenuhnya gagal total. Bahkan saat ini, ketika kalian dirundung ketakutan, kalian tidak dapat mengubah keyakinan, tidak dapat melihat pada alasan. Kalian beputus asa dan tetap tidak dapat melihat keberadaan Yang Maha Kuasa.
Justru saat ini kalian melihat pada kekuatanku, kemampuanku, dan yang kalian tahu, kalian takluk karena kehendakku, sebab hanya sebatas itulah yang paling mudah yang dapat kalian pikirkan.” (Jalaluddiin Rumi dalam bukunya “Fihi Ma Fihi”).
Oleh karena itu, sadarlah, pahamilah, dan yakinlah bahwa baik buruknya diri kita bukan pada apa yang ada dalam genggaman tangan kita, tetapi apa yang kita lakukan, berikan dan dapatkan, semuanya benar dalam pandangan Allah Ta’ala. Sebab inilah manivestasi dari permohonan kita kepada-Nya kala dalam sholat berharap diberikan petunjuk menuju jalan yang lurus.
ٱهۡدِنَاٱلصِّرَٲطَٱلۡمُسۡتَقِيمَ
صِرَٲطَٱلَّذِينَأَنۡعَمۡتَعَلَيۡهِمۡغَيۡرِٱلۡمَغۡضُوبِعَلَيۡهِمۡوَلَاٱلضَّآلِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6 – 7).
Jadi, biarlah diri menjadi apapun, asalkan yang dimakan adalah rezeki yang halal buat diri beserta anak-istri, jangan pernah sedih, itu sudah sangat luar biasa. Sebab tidak ada yang lebih utama untuk diperjuangkan oleh seorang Muslim dalam kesehariannya, selain mendapatkan rihda Allah Ta’ala.*