“Iya, jika menang, bukan cuma uang atau harta. Kalian juga berhak mendapatkan kedudukan yang dekat.”
Panjang lebar Fir’aun terus memotivasi para tukang sihirnya.
Kali ia menjanjikan banyak hal. Tak sekadar uang atau materi, tapi mereka juga dijanji sejumlah jabatan strategis dan akses kekuasaan nantinya dalam struktur pemerintahan Fir’aun.
Rupanya jelang duel atau konfrontasi terbuka itu, para tukang sihir Fir’aun kasak kusuk bertanya, apa keuntungan bagi mereka dalam pertarungan melawan Nabi Musa Alaihi ss-salam (As).
Apa lagi, masyarakat kian ramai berduyun-duyun menyesaki lapangan terbuka itu.
Dialog pragmatis itu digambarkan dengan jelas dalam al-Qur’an:
فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِن كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ
قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ إِذًا لَّمِنَ الْمُقَرَّبِي
Singkat kata, terjadilah yang disebutkan dalam sejarah. Adu kekuatan berlangsung antara Nabi Musa, penyeru kebenaran berhadapan dengan Fir’aun yang menjadi simbol semua kemaksiatan di muka bumi.
Selanjutnya, ular besar Musa berhasil melumat puluhan bahkan ratusan ular jadi-jadian para tukang sihir Fir’aun.
Ajaibnya, para tukang sihir yang tadinya berada di garis depan menentang Musa, tiba-tiba menyatakan keimanannya semua.
Kami beriman kepada Rabb alam semesta. Rabb Musa dan Harun. Demikian ucapan heroik mereka di hadapan penguasa zhalim Fir’aun.
Hidayah itu Hak Allah
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas? Salah satunya adalah perjalanan hidayah yang berbeda bagi setiap manusia.
Siapa sangka pertarungan terbuka di tengah lapangan itu justru menjadi titik balik para tukang sihir mendapatkan hidayah?
Inilah kekuasaan Sang Maha Berkehendak. Dengan caranya tersendiri, Allah memilih siapa yang dikehendaki untuk mencicipi manisnya iman.
Sebagaimana Dia berkuasa penuh jika ingin menyesatkan sebagian manusia lainnya.
Bagi seorang juru dakwah, maka tugas mereka hanyalah menyampaikan dan menjelaskan kebaikan dan kebenaran tersebut.
Seorang guru hanya dituntut agar maksimal dalam mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya.
Selaku orangtua, tugas mereka mengajari dan mendoakan selalu anak-anaknya.
Namun yang memberi pemahaman dan petunjuk hanyalah Allah semata.
Untuk itu, semestinya tak ada celah untuk berkecil hati apalagi hingga putus asa hanya gara-gara seruan yang disampaikan itu belum menyentuh hati manusia.
Ibarat cermin, kisah ketegaran Musa dalam menyampaikan dakwah layak dijadikan wahana untuk berkaca dan evaluasi.
Tengoklah Nabi Musa, dengan semangat ia terus mendakwahkan ajaran tauhid kepada umatnya.
Bahkan hingga titik klimaks, dimana iapun tak tahu hendak berbuat apalagi di hadapan para penentang dakwahnya saat itu.
Sampai akhirnya Allah menyuruh Musa membuang tongkatnya ke tanah lapang.
Maka seketika tongkat itu berubah wujud jadi ular raksasa.
Selanjutnya, tengoklah keajaiban dakwah yang dikerja all out tersebut.
Dengan kasih sayang-Nya Allah lalu menurunkan hidayah kepada para tukang sihir itu.
Ajaibnya lagi, saat itu pula iman yang baru saja menancap itu langsung bekerja dan bereaksi.
Mereka tak gentar dengan ancaman Fir’aun yang murka semurka-murkanya.
Bahkan dengan lantang mengaku itulah cita-cita kami yang tertinggi.
Meninggal dalam pangkuan ridha dan maghfirah (ampunan) dari Allah semata.
إِنَّا نَطۡمَعُ أَن يَغۡفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَـٰيَـٰنَآ أَن كُنَّآ أَوَّلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (٥١)
Allah berfirman: “Sesungguhnya kami sudah sangat berharap Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami, dan kami betul-betul berharap menjadi orang-orang awal beriman.” (QS. Asy-Syuara (26): 51).*/Masykur