Sambungan artikel PERTAMA
Hasan al-Sabbah dan Persoalan di Dunia Ismailiyah
Hasan al-Sabbah adalah seorang yang terpengaruh dan menjadi penganut Syiah Ismailiyah di usia mudanya. Ia tinggal di kawasan Iran, tetapi sempat menetap di Kairo antara tahun 1078 dan 1081 untuk menyempurnakan pendidikannya sebagai dai Ismailiyah.
Saat terjadi krisis politik di Kairo selepas wafatnya al-Mustansir Billah, al-Sabbah sudah beberapa tahun menguasai benteng Alamut di utara Iran dan telah memulai sebuah gerakan yang kelak akan dikenal sebagai Assassin.
Ia menentang khalifah yang baru (al-Musta’li) di Kairo dan menjadi penganut Nizari yang paling menonjol, sehingga dikatakan bahwa Nizar melanjutkan pemerintahan Fatimiyah dari Alamut (Virani, 2018: 196) – sebenarnya Nizar sudah wafat dan al-Sabbah yang memerintah dari tempat itu.
Hasan al-Sabbah membangun sebuah gerakan dengan anak buah yang sangat terlatih, berdisiplin tinggi, dan siap mati dalam menjalankan misi. Mereka disusupkan ke tempat musuh untuk kemudian membunuh para pemimpin yang menjadi target.
Pembunuhan biasanya dilakukan di tempat terbuka dan di depan orang banyak, sehingga menimbulkan teror dan ketakutan pihak lawan. Pelaku pembunuhan biasanya akan tertangkap dan langsung dieksekusi mati. Namun, mereka sudah siap untuk itu, didorong oleh keyakinan kuat akan masuk ke dalam surga.
Strategi pembunuhan yang dilakukan Assassin bukannya tanpa alasan. Bagi mereka, lebih baik membunuh beberapa pemimpin musuh sehingga dapat menggoyahkan pemerintahan lawan daripada terlibat peperangan besar yang menghabiskan banyak biaya dan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Strategi Assassin itu juga cepat mendapatkan hasil. Nizam al-Muluk merupakan korban pertama pembunuhan Assassin. Wazir dan arsitek utama Turki Saljuk itu dibunuh dalam satu perjalanan, saat ia berada di Nahawand.
Beberapa minggu kemudian Maliksyah, Sultan Saljuk, meninggal dunia. Segera setelah itu terjadi perpecahan politik serius yang tak kunjung usai di berbagai wilayah Turki Saljuk. Satu orang saja yang dibunuh, seluruh wilayah Saljuk-Abbasiyah menjadi kacau berantakan.
Pada masa-masa berikutnya, sejumlah pemimpin lainnya menjadi korban serangan Assassin, pada umumnya dari kalangan Sunni, tetapi ada juga yang dari kalangan Syiah non-Nizari. Belakangan, Assassin kadang bersekutu dengan penguasa tertentu di luar kelompok mereka atau menerima bayaran untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu.
Assassin segera menjadi momok yang menakutkan, sehingga banyak pemimpin yang tak berani keluar rumah tanpa mengenakan baju perang di balik baju luarnya, karena khawatir sewaktu-waktu akan diserang oleh para pengikut al-Sabbah. Sampai di sini kita dapat melihat perbedaan strategi yang dipilih oleh al-Sabbah dibandingkan dengan al-Ghazali.
Berbeda dengan al-Ghazali yang memilih uzlah, “menjauh” dari masyarakat, al-Sabbah melatih kader-kader yang mampu menyusup ke tengah musuh, membunuh pemimpinnya, dan siap mati dalam menjalankan tugas. Al-Ghazali memilih untuk melakukan jihad al-nafs, al-Sabbah membangun gerakan “jihad” yang efisien dalam merusak sendi-sendi sosial dan politik pihak lawan.
Al-Ghazali menemukan solusi lewat pembenahan ke dalam, al-Sabbah mencari solusi lewat serangan teror terhadap lawan di luar. Apa yang dilakukan al-Ghazali tidak membawa hasil yang dapat dilihat pada era hidupnya, sementara upaya al-Sabbah menampakkan hasil dalam hitungan tahun saja.
Namun, langkah al-Ghazali memberikan hasil beberapa dekade setelah ia wafat, dimana upayanya dilanjutkan oleh para ulama dari generasi berikutnya. Prosesnya memang sangat lama, tetapi kesannya sangat mendalam.
Bukan hanya Baitul Maqdis akhirnya dapat direbut kembali oleh kaum Muslimin, tetapi pemimpin yang menaklukkannya, yaitu Salahuddin al-Ayyubi, dikenang dengan baik oleh kawan dan lawan.
Sebaliknya Gerakan al-Sabbah, walaupun pada awalnya menampakkan hasil yang menjanjikan dan Assassin sendiri muncul sebagai sebuah organisasi yang ditakuti, tetapi dalam jangka panjang gerakan ini dapat dikatakan tidak berhasil membangun sesuatu yang berarti, selain teror dan kebencian masyarakat.
Ada masa-masa di mana kelompok Assassin menjadi kuat dan berpengaruh di kawasan tertentu disebabkan adanya dukungan dari penguasa setempat. Namun ketika pemimpin wilayah itu berganti, kebijakan pemimpin yang baru juga biasanya berganti.
Assassin yang sebelumnya menjadi teror dan menciptakan ketakutan, pada masa berikutnya menjadi target kemarahan masyarakat. Mereka dikejar dan diburu oleh pemimpin dan masyarakat di tempat itu. Ini yang terjadi di Aleppo dan Damaskus pada paruh pertama abad ke-12.
Ketika Salahuddin muncul sebagai pemimpin di Suriah, Assassin berada di posisi yang bermusuhan terhadapnya. Salahuddin sempat dua kali hendak dibunuh oleh Assassin Suriah, tetapi selalu gagal.
Namun, pada masa-masa yang belakangan, kaum Assassin menuliskan narasi bahwa pemimpin mereka di Suriah telah bekerja sama dengan Salahuddin dalam menghadapi pasukan salib. Hal ini tampaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat menyukai Salahuddin yang telah membela dan mengayomi mereka, dan mereka membenci kelompok Assassin yang telah menggunakan cara-cara teror dan kadang bekerja sama dengan tentara salib, sehingga kelompok Assassin mungkin belakangan memilih narasi semacam itu demi memperbaiki citra mereka di tengah masyarakat.
Terlepas dari itu, walaupun sempat berkembang sebagai gerakan dengan jaringan yang luas, kelompok Assassin pada akhirnya melemah dan semakin kehilangan pengaruh. Gerakan itu juga tak pernah berhasil meruntuhkan pemerintahan Abbasiyah ataupun Fatimiyah – yang terakhir ini dihapuskan oleh Salahuddin – apalagi menggantikan posisi kedua daulah tersebut.
Kenangan yang tertinggal tentang mereka dalam benak sejarah hanyalah soal teror dan pembunuhan, walaupun sebenarnya itu bukanlah monopoli dan bukan pula satu-satunya karakteristik yang dimiliki oleh para pengikut al-Sabbah. Wallahu a’lam. Kuala Lumpur, 5 Jumadil Akhir 1443/8 Januari 2022
Penulis adalah staf pengajar di bidang Sejarah dan Peradaban, International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Azzam, A.R. 2009. Saladin. Harlow: Pearson.
Daftary, Farhad. 1998. “The Ismaili Daᶜwa Outside the Fatimid Dawla.” L’Egypte Fatimide. Presses de l’Universite de Paris-Sorbonne.
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. 1322H. Fātihat al-ꜥUlūm. Miṣr: al-Ḥusainiyya.
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. 2011. Iḥyā’ ꜥUlūm al-Dīn. Vol. 4. Jeddah: Dār al-Minhāj.
Al-Kilani, Dr. Majid ꜥIrsan. 2007. Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib. Bekasi: Kalam Aulia Mediatama,
Shalaby, Ali Muhammad. 2010. Broken Crucifix. Lentera Optima Pustaka.
Virani, Shafique N. 2018. “Alamūt, Ismailism and Khwāja Qāsim Tushtarī’’s Recognizing God.” Shii Studies Review, Vol. 2, No 1-2, hlm. 193-227.