Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Di hari berikutnya, pengadilan menyatakan Bung Karno bersalah dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara tanpa pernah dibuktikan. Tak lama setelah itu, ia dipindahkan ke penjara Sukamiskin.
Sementara itu, Indonesia Menggugat telah tersebar ke berbagai pengadilan di Eropa dan banyak protes resmi datang dari ahli-ahli hukum. Perhimpunan Pengacara Austria menilai hukuman itu menciderai rasa kemanusiaan karena tidak pernah dibuktikan. Para ahli hukum Belanda pun membela Bung Karno. Begitu banyak tekanan secara hukum baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga membuat Gubernur Jenderal mengubah hukumannya menjadi 2 tahun.
Pagi tanggal 31 Desember 1931, Bung Karno menghirup udara bebas. Direktur penjara Sukamiskin yang mengiringinya ke pintu keluar, bertanya, “….Apakah Anda betul-betul akan memulai kehidupan baru?” Sambil memegang pintu gerbang dengan tangan kanannya, ia menjawab, “Seorang pemimpin tidak akan berubah karena hukuman. Aku masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan aku meninggalkannya dengan tujuan yang sama.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Bung Karno benar-benar menepati janjinya. Beberapa hari setelah keluar dari penjara Sukamiskin, ia tak kapok-kapok memperjuangkan kemerdekaan. Pada Januari 1932, ia berpidato di depan peserta Kongres Indonesia Raya mengobarkan semangat rakyat. Dengan mata yang berlinang, ia akhiri pidatonya dengan mengatakan, “Kecintaanku terhadap tanah air kita yang tercinta ini belum padam. Juga tidak ada maksudku untuk sekedar berbuat yang romantis dan berpegangan tangan. Aku bertekad untuk berjuang. Insya Allah, di satu waktu, kita akan bersatu kembali.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Lebih dari itu, ia membuat tulisan berjudul Mencapai Indonesia Merdeka di dalam brosur. Brosur itu dianggap sangat menghasut oleh penjajah, sehingga bararang cetakan itu disita dan dinyatakan terlarang setelah diterbitkan. Banyak yang dirampas, rumah-rumah digeledah, dan rakyat yang berkumpul lebih dari tiga orang digerebek.
Penjajah juga menginstruksikan untuk menahan siapa saja yang membaca majalah itu atau yang memakai peci. Lewat majalah partainya, Fikiran Ra’jat, Bung Karno -dengan nama Soemini- membuat karikatur-karikatur untuk menghantam kaum imperialis dan menyuarakan kemerdekaan.
Tepat delapan bulan dari hari pembebasannya, ia kembali ditahan karena tidak menutup mulut sebagaimana penjajah harapkan. Kali ini ia ditahan di Hopbiro Polisi di Jakarta. Pukul setengah enam pagi, ia lalu dipindahkan ke penjara yang berada di Surabaya. Hari berikutnya ia dilarikan ke palabuhan. Dengan diapit dua orang reserse di kiri dan kanan, ia dibawa naik ke atas kapal barang Jan van Riebeeck dan dimasukkan ke sebuah kamar kelas dua di sebelah kandang ternak. Delapan hari kemudian, ia sampai ke tempat pembuangannya di Ende, Flores.
Meski di tempat pembuangan, keyakinan Bung Karno akan kemerdekaan tidaklah sirna. Pernah suatu pagi, seorang stoker menemui Bung Karno di dermaga dan bertanya, “Apa Bung benar-benar yakin kita semua akan merdeka?”
Bung Karno lalu menjawab;
“Kalau ada asap di belakang kapal ini, aku menyimpulkan ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. Ini yang disebut ilmul yakin. Lalu kalau aku berjalan di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepalaku sendiri, itu keyakinan yang didasari penglihatan, ainul yakin. Tetapi mungkin penglihatanku itu salah. Kalau aku memasukkan tanganku ke dalam api dan tanganku terbakar, ini adalah keyakinan yang sungguh-sungguh berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi, inilah hakkul yakin. Dengan hakkul yakin inilah aku menyimpulkan bahwa kita akan merdeka.
Belanda menyusun barisan berdampingan dengan keju dan mentega, sementara kita menyusun barisan bersama-sama dengan mataharinya sejarah. Suatu hari, betapapun juga, kita akan menang. Dalam fajar itu, kawan, aku tidak akan melarikan diri dari Flores secara diam-diam, tetapi aku berbaris dengan kepala tegak.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Suatu ketika Bung Karno tak dapat bangun dari tempat tidurnya. Ia terkena penyakit malaria. Dokter memvonis ajalnya telah dekat. Mengetahui hal itu, penjajah cepat-cepat memindahkan Bung Karno ke tempat lain yang penduduknya nonpolitis. Penjajah takut bertanggung jawab kalau kalau Bung Karno meninggal dunia. Maka pada bulan Februari 1938, ia dibuang ke Bengkulu.
Di Bengkulu, Bung Karno tak diam. Ia mengisi waktunya dengan merancang masjid dan rumah-rumah untuk rakyat, mengajar para guru Muhammadiyah, menyelenggarakan seminar antar pulau Sumatera-Jawa bagi pemimpin agama, dan menulis artikel (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Tak kalah hebat dari Presiden Bung Karno, Wakil Presiden Bung Hatta pun menentang penjajah dengan gagah. Sewaktu kuliah di Belanda, ia ikut mengganti watak Indische Vereeniging (Perhimpunan Mahasiswa Hindia) menjadi gerakan politik perlawanan. Ia dan kawan-kawannya bahkan menjadi kelompok pertama yang memperkenalkan kata “Indonesia” dengan mengubah nama perhimpunan itu dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).
Perhimpunan itu menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang belakangan diberi nama lebih provokatif, Indonesia Merdeka. Bung Hatta menulis dua artikel di edisi perdana majalah itu. Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial, ia ditahan pada tahun 1927 di Belanda. Ia tak bungkam. Di dalam penjara, ia justru menulis pidato pembelaan yang berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) yang nanti ia bacakan selama setengah jam di depan pengadilan. Judul itu menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Di situlah, tepat di ulu hati kekuasaan kolonial, ia menusukkan tikamannya.
Bung Hatta meninggalkan Belanda pada 20 Juli 1932 dengan menumpang kapal Jerman Saarbrucken yang berlayar melalui Paris, Genoa, lalu melaju hingga Singapura. Di negeri Singa itu, “Ke mana-mana aku selalu diikuti polisi rahasia,” tutur Bung Hatta (Tim Penyunting Tempo, 2010, Hatta Jejak yang Melampaui Zaman).
Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana, ia bersama Sjahrir mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan). Di tengah suasana represi politik kala itu, Gubernur Jenderal De Jonge lalu menangkap 13 aktivis PNI-Pendidikan, termasuk keduanya pada tahun 1934. Bung Hatta dibawa ke penjara Glodok, sementara Sjahrir diangkut ke penjara Cipinang (H. Rosihan Anwar, 2010, Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan).* (Bersambung)
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa