Oleh: Muhammad Cheng Ho
GELI, jengkel, dan bosan menyaksikan sikap pimpinan negeri ini terhadap PT. Freeport Indonesia. Betapa tidak, sampai detik ini mereka belum menolak perpanjangan kontrak perusahaan yang mengeruk kekayaan alam kita itu. Bahkan gilanya, seorang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (ESDM) Sudirman Said terang-terangan mengaku sepakat dengan kepastian investasi Freeport pasca 2021 (Republika Online, 9 Oktober 2015). Dasar jongos perlente! Dan akhir-akhir ini mereka malah mau diadudomba oleh imperialis asing itu. Sehingga ributlah satu sama lain di layar kaca dan disaksikan langsung ratusan juta rakyatnya secara eksklusif. Miris! Entah seberapa tebal tembok di muka mereka.
Memang, kontrak PT Freeport baru habis di tahun 2021, namun sebenarnya tak menyalahi kontrak juga bila mereka menolaknya sekarang. Tapi dasar pimpinan negeri ini saja yang takut mengambil resiko, bermental inlander, pasif, pasrah, nrimo, dan minder. Mana Revolusi Mental? Mana Nawacita? Mana Trisakti? Mana Nasionalisme? Mana Pancasila? Tong kosong nyaring bunyinya!
Berbeda dengan sikap founding fathers kita pada penjajah dahulu. Mereka melawan, lalu ditahan, keluar tahanan, tetap melawan, hingga kembali ditahan. Mereka menentang, lalu dibuang, di tempat pembuangan tetap menentang, hingga kembali dibuang. Itu mereka lakukan semata-mata demi kemerdekaan.
Pernah Presiden Bung Karno berpidato di lapangan rapat di Madiun dengan disaksikan langsung oleh polisi Belanda. Tanpa takut, ia katakan;
“Senjata imperialisme yang paling jahat adalah politik Divide et Impera. Belanda telah berusaha memecah belah kita menjadi kelompok yang terpisah-pisah yang masing-masing membenci satu sama lain…
Kita bisa belajar dari firman Sang Maha Pencipta bahwa hanya dalam keesaanlah ada kekuatan. Mungkin aku adalah seorang politikus yang berjiwa romantik, yang terlalu sering memetik kecapi dari idealisme, tetapi ketika orang Israel memberontak terhadap Firaun, siapakah yang menggerakkan kesaktiannya? Nabi Musa. Beliaupun memiliki cita-cita tinggi. Dan apakah yang dilakukan oleh Nabi Musa? Nabi Musa telah mempersatukan seluruh suku menjadi satu kekuatan yang bulat.
Nabi kita juga melakukan yang sama. Nabi Muhammad adalah seorang organisator yang besar. Beliau mempersatukan orang-orang yang beriman, menjadikannya satu masyarakat Islam yang kuat, yang dengan militan melawan peperangan-peperangan, pengejaran, dan penyakit dari zaman itu.
… Marilah kita bergabung menjadi satu kekeluargaan yang besar dengan satu tujuan yang besar: menggulingkan pemerintah kolonial. Melawan mereka, bangkit bersama-sama.”
Mendengar itu, inspektur polisi Belanda yang memegang tongkat, memukulkan tongkatnya ke lantai sambil berteriak,” Stop… Stop….!” Bung Karno lalu dibawa ke kantor polisi. Di sana, ia diberi peringatan keras, “Jangan mencari perkara, Tuan Sukarno. Kalau terjadi sekali lagi, kami akan memasukkan Anda ke dalam sel. Dan Anda akan meringkuk di belakang terali besi untuk waktu yang lama. Mulai sekarang jagalah langkah Anda. Lain kali Anda tidak akan mudah dilepaskan.” Setelah itu, ia akhirnya dibebaskan (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Meski ancaman penangkapan selalu membayanginya, namun Bung Karno tak bungkam. Ia kembali berpidato dalam sebuah rapat umum, menggertak penjajah.
“Kaum imperialis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Setelah itu, Bung Karno pun kembali ditangkap dan ditahan di penjara khusus orang sakit jiwa di Mergangsan. Hanya satu hari satu malam ia disitu. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Banceuy. Setelah 8 bulan ia berada di tahanan, perkaranya dibawa ke pengadilan. Ia dituduh, “mengambil bagian dalam sebuah organisasi yang bertujuan menjalankan kejahatan di samping menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda yang telah ada.”
Di depan pengadilan Bung Karno membacakan pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat.
“Pengadilan menuduh kami telah merencanakan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami akan melakukan kejahatan, Tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Bedil? Bom? Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mendapatkan persamaan dalam hal pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 rupiah.
Target kami adalah menghapuskan hak-hak luar biasa dari Gubernur Jenderal, yang tidak lain adalah teror yang dilegalkan. Satu-satunya dinamit yang pernah kami pasang adalah jeritan dari derita kami. Medan perjuangan kami tak lain dari gedung-gedung pertemuan publik dan surat-surat kabar umum.
….Kami tahu kemerdekaan memerlukan waktu. Kami tahu kemerdekaan tidak mungkin tercapai dalam satu tarikan napas. Meski demikian kami masih saja dituduh orang ‘menyusun satu komplotan untuk mengadakan revolusi yang berdarah dan terbuka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 1930’ Seandainya ini benar, penggeledehan massal yang Tuan-Tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan menemukan satu persembunyian senjata-senjata gelap. Tetapi tidak sebilah pisau pun yang ditemukan.
….Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Tetapi suatu bangsa tidak mungkin eksis tanpa keyakinan. Keyakinan! Itulah senjata rahasia kami! …Suatu hari nanti, semua negeri Asia berada dalam bahaya penghancuran secara besar-besaran oleh Jepang. Saya hanya mengatakan, menurut keyakinan saya, jikalau ekor naga raksasa itu sudah mengibas-ngibas ke kiri dan kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan mampu menahannya.
….Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki satu kesempatan untuk membangun harga diri dari rakyat kami…” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).*(Bersambung)
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa