ASAL manusia dari tanah, yang diinjak-injaknya dan dalam pandangannya tidak punya nilai apa-apa. Sementara awal penciptaannya adalah dari mani yang menjijikkan.
“Binasalah manusia, alangkah sangat kekafirannya! Dari apakah Allah menciptakannya? Allah menciptakannya dari setetes mani, lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya.” (‘Abasa: 17-20).
Jadi, asal kita adalah sesuatu yang hina. Tubuh kita ternyata tidak terbentuk dari bahan tambang berharga. Unsur-unsurnya sama sekali tidak berbeda dengan unsur-unsur tanah. Itulah asalmu, wahai manusia!
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (ath-Thaariq: 5)
Karena itu, wahai manusia, ketika Anda mengangkat tinggi-tinggi batang hidungmu, ingatlah asalmu! Dan ingatlah pula apa yang kamu bawa dalam perutmu.
Dikisahkan bahwa Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhkhir suatu kali melihat al-Muhallab bin Abi Shufrah memakai pakaian baru dan bagus, dan berjalan dengan gaya angkuh. Mutharrif lalu menegur, “Hai Abu Abdillah (panggilan al-Muhallab), mengapa kamu berjalan dengan gaya yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya?”
“Kau tidak mengenal siapa aku?!” balas al-Muhallab pongah.
“Justru aku sangat mengenalmu,” jawab Mutharrif, “Awalmu adalah mani yang busuk. Akhirmu adalah nanah yang menjijikkan. Dan sejak awal sampai akhirmu, perutmu hanya berisi air seni dan kotoran.”
Bagaimana mungkin satu makhluk dengan keadaannya yang demikian bisa mengagumi dirinya sendiri? Oleh karena itu, dengan kita senantiasa mengingat asal kita, kita akan terhindar dari sifat ujub dan angkuh.
Anas ra meriwayatkan, “Suatu kali Abu Bakar r.a. berkhotbah di depan kami menyebutkan tentang awal kejadian manusia sampai semua kami merasa jijik. Waktu itu, ia mengatakan, ‘Dua kali manusia keluar dari saluran air seni!’”
Karena itu para sahabat gemar sujud di atas tanah dan melepoti muka mereka dengannya, agar mereka tidak pernah lupa akan asal-usul mereka dan untuk menghindari diri mereka dari kesombongan.
Al-Hasan mengatakan, “Siapa saja yang mewarnai sandalnya dengan warna abu (abu-abu), mencompang-campingkan pakaiannya, dan melepoti mukanya dengan tanah karena Allah, maka ia telah bebas dari kesombongan.”*/Dr. Majdi Al-Hilali, terangkum dalam bukunya Adakah Berhala pada Diri Kita? [Tulisan selanjutnya]