JIKA kita bandingkan dengan shalat fardu lainnya, shalat Subuh berjamaah di masjid adalah yang paling memungkinkan, khususnya bagi kaum laki-laki. Mengapa? Karena pada Subuh hari sebagian besar orang tidak memiliki kesibukan apa-apa selain tidur sehingga penolakannya untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah lebih banyak disebabkan oleh kemalasannya. Hal ini berbeda dengan shalat Zuhur, Ashar, Magrib, atau Isya’ di mana orang masih bisa mengelak untuk tidak shalat tepat waktu dan berjarnaah di masjid. Alasannya mungkin sibuk dengan pekerjaan, sedang di perjalanan, mengurus anak, dan sebagainya, meskipun alasan ini pun kurang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali dalam kondisi darurat.
Itulah sebabnya, Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam menyebut orang-orang yang tidak suka berjamaah shalat Subuh sebagai orang yang memiliki sifat munafik di dalam dirinya. “Sesungguhnya dua shalat ini (Subuh dan Isya’) adalah shalat yang berat bagi orang-orang yang munafik. Sesungguhnya, jika saja mereka mengetahui apa yang ada dalam shalat Subuh dan Isya maka mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR Bukhari-Muslim).
Ibnu Umar mengatakan pula bahwa orang yang tidak suka ke masjid untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah layak diprasangkai buruk. “Apabila kami kehilangan seseorang dalam shalat Subuh dan Isya, kami pun akan berprasangka tidak baik kepadanya”. Maksud prasangka buruk di sini adalah kecurigaan bahwa dia adalah orang munafik.
Secara umum, ada beberapa ciri khas dari orang yang shalat Subuhnya sukses. Salah satunya adalah pada pagi har sampai waktu qabla Zuhur, dia akan menjadi pribadi tenang yang tidak banyak komentar serta jokes (humor). Mengapa? Karena canda dan tawa serta pernyataan yang dikeluarkan pada waktu-waktu kritis itu berisiko menyakiti hati orang lain.
Ada keistimewaan lain dari shalat Subuh, yaitu dianjurkannya kita membaca SuratAl-Falaq (113) ayat 1-5. Unik sekali perintah ini. Betapa tidak? Dalam Surat Al-Falaq, selain diminta untuk memohon perlindungan dari kejahatan makhluk, kita pun dikondisikan untuk memohon perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari kegelapan malam. Kita lihat redaksi surat ini. “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan perempuan-perempuan tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.‘”
Mengapa? Bukankah shalat Subuh dilakukan menjelang pagi dan awal hari yang baru sehingga jauh dari kegelapan? Justru kita akan menghadapi semburan cahaya matahari. Sebuah paradoks yang indah. Ketika kita bertemu cahaya matahari secara indrawi, saat itu pula kegelapan dapat menyelimuti hati. Pada saat matahari beranjak tinggi dan semua indera kita aktif, kekuatan nafsu pun bangkit mengambil alih.
Segala sesuatu yang indah secara indrawi akan mendominasi sistem pengambilan keputusan. Kita bisa lupa diri dan terjebak dalam gulitanya cinta dunia. Jika dibiarkan terus-menerus, kondisi semacam ini bisa menggiring kita menjadi pribadi tergesa-gesa, sulit mengukur kemampuan diri, dan tidak terampil menempatkan diri secara proporsional. Dalam kegelapan yang terang benderang kita berpeluang menjadi pribadi kufur, yaitu pribadi yang menjadikan proses mempertuhan diri sebagai bagian dari aktivitas keseharian.
Kegelapan hati akan menjadikan kita pribadi kurang empati serta tidak peduli terhadap penderitaan sesama. Akhirnya, kita akan menjadi pribadi tegang dan dicekam ketakutan ketika keinginan tidak tercapai.
Di sinilah shalat Subuh menjadi gerbang pembuka pintu langit yang akan menjadikan hari yang kita jalani lebih berkah. Sebab, kita mengawalinya dengan penuh makna dan cahaya hidayah. Oleh karena itu, selain menunaikan shalat berjamaah di masjid, Rasulullah pun senantiasa membaca doa ketika waktu Subuh datang menjelang.
“Kami telah mendapatkan Subuh dan jadilah segala kekuasaan itu milik Allah, demikian juga kebesaran dan keagungan, penciptaan makhluk, segala urusan, malam dan siang, dan segala yang terjadi pada keduanya. Semuanya kepunyaan Allah Ta’ala. Ya Allah, jadikanlah permulaan hari ini suatu kebaikan, pertengahannya suatu kemenangan, dan penghabisannya suatu kejayaan, wahai Tuhan yang paling Penyayang dari segala yang penyayang. Ya Allah, sesungguhnya hamba mohon kepada-Mu ilmu yang berguna, rezeki yang baik, serta amal yang diterima.” (HR Ibnu Majah).
Doa ini penuh inspirasi dan mengandung nilai-nilai ketauhidan yang sangat dalam. Betapa tidak? Di dalamnya tersirat sebuah harapan dan permohonan yang tulus kepada Dzat Penguasa malam dan siang agar senantiasa menjadi pembimbing dan pelindung dalam setiap tahapan waktu, pada awal, pertengahan, dan akhir. Kita pun mengucapkannya setiap awal hari sehingga hari-hari kita menjadi penuh makna dan penuh dinamika dalam meniti jalan ke surga.
Ketahuilah saudaraku, semua keutamaan ini tidak akan pernah kita dapatkan apabila kita malas bangun, malas mengambil air wudhu, dan malas melangkahkan kaki ke masjid. Mari kita laksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid dan raih berbagai keutamaannya!*/Tauhid Nur Azhar, dari bukunya Mengapa Banyak Larangan? Hikmah dan Efek Pengharaman dalam Akidah, Ibadah, Akhlak, Serta Makan-Minum.