Hidayatullah.com—Suasana malam yang tenang di lingkungan Dafna dan di dekatnya tiba-tiba berubah menjadi bising di dek tabuhan drum, inilah tradisi Masharati. Sekelompok pria terlihat berjalan menyusuri gang-gang tempat tinggal sambil menabuh genderang dan rebana.
Mereka menyanyikan lagu-lagu tradisional yang diselingi dengan seruan untuk mengajak masyarakat bangun sahur. Kegiatan tersebut berlanjut hingga menit terakhir sebelum dikumandangkannya seruan sahud dan persiapan shalat Subuh.
Itulah Masharati, pemandangan umum saat menjelang fajar selama Ramadhan di sebagian besar negara Timur Tengah, termasuk Qatar. ‘Masharati’ tradisi kuno dan turun-temurun yang awalnya dilakukan secara sukarela.
Sekarang ada yang menjadikan praktik Masharati sebagai pekerjaan musiman sejalan dengan urbanisasi dan perubahan sosial. Atiq Al Sulaiti, peneliti sejarah dan warisan Qatar saat ditemui Qatar News Agency (QNA) mengatakan, pemain ‘Masharati’ tersebut ini telah menjadi pekerjaan di beberapa daerah di Qatar.
Menurut dia, meski masyarakat mungkin lebih suka menggunakan pengaturan jam weker, namun tradisi ribuan tahun itu tetap dilanjutkan dan dilestarikan. “Itu masih dibutuhkan. Selama Ramadhan, orang yang tidur lebih awal akan mudah terbangun. Namun bagi mereka yang tidur agak larut, pasti membutuhkan seseorang untuk membangunkannya sebelum subuh berkumandang. Di sinilah fungsi dari profesi musiman ini berperan,” kata Atiq.
“Mereka (pemain ‘Masharati’) tidak hanya menabuh genderang dan menyanyikan lagu atau dzikir. Bahkan, mereka akan memanggil nama tuan rumah dan mengetuk pintu,” ujarnya.
Menurut QNA, disadari atau tidak, praktik ‘Masyarati’ sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ ketika umat Islam saat itu mengumandangkan adzan yang dilantunkan Ibnu Umm Maktum sebagai tanda dimulainya puasa. atau berhenti makan dan minum, sedangkan adzan Bilal bin Rabah sebagai tanda berbuka puasa.
Seiring dengan penyebaran dakwah Islam dan ruang lingkup negara Islam yang semakin luas, cara penyampaian informasi juga berubah. Sejarawan mencatat ‘Masharati’ pertama kali ada di Mesir pada 238H.
Saat itu, Gubernur Mesir Utbah bin Ishaq menyadari bahwa masyarakat tidak memperhatikan amalan sunnah sahur, sekaligus tidak ada upaya untuk mengejutkan mereka agar bangun untuk sahur. Karena itu, dia sendiri berinisiatif untuk berjalan-jalan di Kairo hingga larut malam.
Ia berjalan kaki dari kota Askar menuju masjid Amru bin Al As di Fustat sambil menyeru; “Ibadullah, tasahharu fa inna fis sahur barakah” (Wahai hamba Allah, bangunlah. Sesungguhnya di waktu subuh ada berkah).
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, perubahan terlihat cukup ekstrim ketika para pemai Masharati tidak lagi dari kalangan sipil melainkan anggota militer. Hal itu berlangsung selama beberapa tahun sampai akhirnya pemerintah memutuskan untuk menunjuk hanya satu pemuda di suatu daerah untuk melakukan ‘Masharati’.*