PUBLIK tidak akan pernah lupa, pernyataan Gubernur DKI Jakarta (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama alis Ahok saat kampanye di depan msyarakat Kepulauan Seribu, “Kalau bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat Al-Maidah 51, macem-macem itu. Kalo bapak ibu merasa ga milih neh karena saya takut neraka, dibodohin gitu ya gapapa.”
Ucapan ini sudah dikaji Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, dan disimpulkan termasuk menghina al-Quran dan ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Sebagai bentuk reaksi atas penghinaan dan penistaan tersebut, umat Islam melakukan aksi.
Tercatat kurang lebih 2 juta kaum muslim melakukan Aksi Damai Bela Islam II yang berlangsung pada Jumat 4 Nopember 2016.
Tokoh-tokoh dan ulama tingkat nasional seperti Habieb Rizieq Shihab, Ustadz Arifin Ilham, Ustadz Bahtiar Nasir dan KH. Abdullah Gymnastiar, berkumpul.
Ormas-ormas Islam pun bersatu padu dalam aksi damai tersebut. Mereka bergerak atas dorongan akidah, menuntut hal yang sama, yakni agar Ahok sang Penista segera ditangkap dan dihukum.
Sebagaimana pemberitaan media, aspirasi peserta yang terbesar sepanjang sejarah negeri ternyata tidak disambut oleh Presiden Jokowi.
Jokowi menghindar bertemu dengan ulama dan tokoh peserta aksi dengan alasan ada agenda lain.
Padahal Jokowi pernah menerima para pelaku insiden Tolikara, juga bersedia menerima segelintir konglomerat. Sikap itu sungguh menyakiti umat Islam. Akhirnya aspirasi tersebut diterima oleh Wapres JK, didampingi Menko Polhukam, Panglima TNI dan Kapolri. JK pun memberikan jaminan bahwa proses hukum terkait Ahok akan dituntaskan dalam dua minggu.
Waktu pun berlalu, tiga minggu lebih janji wakil presiden tidak kunjung dipenuhi. Justru yang ada terkesan ada rekayasa proses hukum, sebagaimana dilansir banyak media.
Mulai dari mempermasalahkan penggunaan kata pakai atau tidak pada pernyataan Ahok, sampai keterangan Polri mengenai akan mendatangkan 10 orang saksi ahli dll.
Dalam pandangan publik, berbagai upaya tersebut justru nampak seolah melindungi Ahok dari jerat hukum. Proses hukum malah terlihat begitu lamban.
Akhirnya desakan rakyat pun semakin tak terbendung, ultimatum umat Islam yang akan mengadakan aksi yang lebih besar, menyebabkan Kapolri terdesak menetapkan Ahok sebagai tersangka.
Namun publik sudah cerdas menilai, bahwa meski dijadikan tersangka, tetapi Ahok terasa mendapat hak istimewa. Sebab walaupun ditetapkan tersangka, ia bisa tetap bebas, termasuk untuk kampanye pencalonan gubernur.
Apa kata dunia, tersangka, pelaku kriminal, tapi tetap jadi calon gubernur. Sedangkan masyarakat saja jika mau mencalonkan kerja mesti punya SKCK.
Karena lambannya proses hukum, dan sikap pemerintah yang seolah membela Ahok, akhirnya diputuskan umat Islam akan melakukan Aksi Super Damai, Aksi Bela Islam III, yang akan mengerahkan kurang pada 2 Desember 2016 nanti.
Untuk aksi ini pun, masih banyak pihak dengan berbagai cara menggagalkannya. Mulai dari membuat opini negatif tentang aksi seperti tudingan adanya makar, mendiskreditkan tokoh, ulama dan ormas Islam yang ikut andil dalam mensukseskan acara tersebut, sampai tindakan yang paling keras yakni memprovokasi aparat melarang masyarakat ikut aksi.
Bahkan di Jakarta, Polri membagikan selebaran melalui helikopter yang berisi larangan tersebut. Padahal menyampaikan aspirasi merupakan hak warga negara yang wajib dilindungi! Para pembela Ahok pun tidak berputus asa mencari dukungan dari para tokoh, elite partai politik, dan juga ormas untuk meredam kemaraham umat Islam.
Kalau kata Aa Gym dalam acara Indonesian Lawyers Club (ILC), sesungguhnya Indonesia sedang diuji. Masalahnya adalah ada warga negara Indonesia yang menistakan al-Quran.
Seharusnya solusinya jelas, penista harus dihukum, ditangkap. Ke depan Indonesia akan terus diuji. Ketika ujian demi ujian tidak diselesaikan berdasarkan aturan, maka yang terjadi adalah kehancuran.
Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus terus bersatu, merapatkan barisan, menyamakan persepsi, untuk mencapai tujuan yang sama, yakni minta keadilan. Wallahua’lam.*
Vera Khairunnisa
(Ibu Rumah Tangga)