Belum lama ini Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa, menjelaskan, angka perceraian di Jawa Timur mencapai 47 persen.
Menurut Khofifah, penyebab tingkat perceraian yang tinggi itu karena ketahanan keluarga yang rentan.
Tahun lalu, Kota Malang dikejutkan dengan berita perceraian. Dalam sehari di Kabupaten Malang, 20 pasangan suami istri diputus cerai (demikian Koran Jawapos 11 September 2015 hal 37).
Setelah saya telusuri datanya, 20 pasutri cerai hanya di daerah Kepanjen. Yang bercerai masih dibawah umur 23 tahun. Rata-rata mereka menikah karena hamil duluan alias married by accident.
Masih sepanjang 2015 lalu, jumlah persalinan bayi oleh remaja berusia 10-18 tahun di DI Yogyakarta juga tinggi. Berdasarkan data dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, 1.078 remaja puteri yang semestinya masih berstatus pelajar melahirkan bayi.
Dari angka 1.078 remaja puteri yang melahirkan di 2015 itu, masih menurut catatan PKBI DIY, 976 diantaranya berasal dari kehamilan yang tak diinginkan alias akibat hamil di luar nikah.
Daerah yang paling mendominasi yakni Bantul dengan 276 kasus. Ironis bagi wilayah yang dicap sebagai kota pendidikan.
Hamil duluan penyebab awalnya karena pergaulan bebas dan longgarnya pengawasan orang tua. Bagaimana mengawasi, bila orang tuanya menjadi Tenaga kerja di luar negeri? Serba dilematis.
Dari kesimpulan akhir skripsi yang ditemukan di perpustakaan UIN Malang. Secara umum, penyebab perceraian karena 3 faktor: keterlibatan pihak ketiga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT membuat perempuan mengajukan gugatan cerai), dan ekonomi/finansial (Muhammad david aminuddin, UIN Malang, 2013). Ada pula yang bercerai karena salah satu pasangan terjangkit AIDS (UIIS Malang, 2003) dan diketahui sang suami itu ternyata waria (Helmi susanto, UIN Malang, 2013).
Akan tetapi untuk tahun ini penyebabnya bergeser. Karena faktor media sosial. Media sosial menjadi penyebab bubarnya bahtera rumah tangga di kabupaten Malang. Fenomena demikian bisa ditemukan di Amerika.
Dari survei American Academy of Matrimonial Lawyers, satu dari lima perceraian di Amerika Serikat disebabkan oleh jejaring sosial Facebook. Dikutip dari situs vivanews, 80 persen pengacara perceraian melaporkan lonjakan jumlah kasus yang menggunakan media sosial sebagai bukti perselingkuhan pasangan.
Terkait media sosial, bila tidak diawasi, pasangan hidup kita bisa tergelincir. Idealnya setelah menikah, kurangilah berselancar di Media sosial. Hal hal terkait rumah tangga tidak perlu diumbar. Misalnya: kurangnya uang belanja, pasangan yang tak romantis lagi atau berani membicarakan aib mertua secara vulgar.
Pernikahan itu lembaga yang mendewasakan dua insan. Kok bisa?
Karena ujian hidup yang sebernarnya baru dimulai setelah menikah. Ujian-ujian hidup seperti harta, penyakit, pasangan dan anak akan mewarnai pasang surut berumah tangga. Yang seperti ini tidak diajarkan di lembaga pendidikan formal.
Sudah sepatutnya bila sudah menikah, bersikaplah dewasa. Jangan sedikit-sedikit KDRT dan mengumbar urusan internal rumah tangga. Bila yang seperti ini tidak diminimalisir, maka pasangan suami-istri akan gampang bercerai.
Kepada pemuda-pemudi yang belum mendaftar ke KUA, untuk sementara lebih baik ditertawakan karena belum ke KUA, daripada tidak bisa tertawa lagi setelah ke KUA. Yang modelnya seperti ini banyak, setelah tidak bisa tertawa, akhirnya mengantri sidang ke Pengadilan agama (baca: cerai). Wallahu’allam.*
Fadh Ahmad Arifan | Penulis adalah alumni Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah, Fakultas Syariah di UIN Malang