“Sehari sebelum Buya Hamka wafat, pada 25 Juli 1981 malam saya bermimpi. Saya melihat sebuah mobil Lincoln-Continental besar, berkilau-kilau, enam pintu, perlahan-lahan berhenti. Pintu paling belakang sebelah kiri pelan-pelan membuka. Dari dalamnya keluar seorang laki-laki, gagah, berjubah panjang terbuat dari emas berkilau-kilau di bawah cahaya matahari. Saya terpana. Laki-laki berjubah emas itu Buya Hamka,” demikian tutur Sastrawan Besar Indonesia, Dr. Taufiq Ismail memberi kata pengantar dalam buku ini.
Sebuah buku yang berkisah tentang riwayat hidup seorang Ulama Besar Indonesia. Sastrawan juga Negarwan. Dia adalah H. Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka (1908-1981). Ditulis oleh Irfan Hamka, putra kelima dari sepuluh bersaudara putra-putri beliau (7 laki-laki, 3 perempuan).
Karya masterpiece-nya yang banyak dikagumi umat Islam adalah Tafsir AlQur’an 30 Juz yang diberi nama Tafsir Al-Azhar. Nasehat dan dakwahnya yang begeitu sejuk, membumi, dan aktual sangat disukai banyak jema’ah Masjid Agung Al-Azhar, Pemirsah TVRI, Pendengar RRI, serta jemaah lainnya yang menghadiri taklim-taklim yang diisi oleh Buya Hamka sebagai penceramahnya. Tulisan-tulisannya, baik dalam bentuk buku, artikel, opini, hasil wawancara, dan lain sebagainya abadi sampai saat ini.
Mungkin, selama ini kita baru mengenal Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama. Seniman yang melahirkan karya besar dalam dunia sastra seperti; Di Bawah Naungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Vanderwijk. Negarawan yang menjadi angota Konstituante dari Partai Masyumi pada tahun 1955. Jurnalis senior yang memimpin majalah Pandji Masyarakat.
Namun, lewat karya setebal 323 halaman ini, kita akan mengenal Buya dari sudut pandang berbeda. Sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya. Sebagai Insan biasa yang menikah dan berkeluarga. Buya Hamka memiliki kisah-kisah sederhana, menarik, dan sangat inspiratif.
Contohnya saja cerita tentang si kuning. Seekor kucing peliharaan beliau berwarna kuning loreng yang berumur seperempat abad. Setiap kali Buya berangkat shalat ke Masjid Agung Al Azhar di depan rumahnya, si kuning selalu ikut dan menunggu di pintu. Bilamana Buya sedang menulis, beliau bersila, maka si kuning akan tiduran di pangkuannya dengan tenang.
Cerita Buya Hamka yang berkomunikasi dan membuat “kesepakatan” denganInnyiak Batungkek atau Kakek Bertongkat. Sosok Jin yang sering jail dan mendiami rumah barunya di Kebayoran Lama. Cara Buya Hamka memberi pendekatan dan pemahaman yang utuh tentang tasawuf kepada masayrakat Minang yang terlanjur keliru menyamakan tasawuf dengan ilmu kesaktian. Dan masih banyak lagi kisah-kisah lainnya.
Buku ini ibaratnya pohon yang rimbun dengan buah-buahnya yang ranum. Memetik dan menyantapnya akan melegakan jiwa yang merindu. Selamat memetik!* /M Rizky Utama
Buku : Ayah… Kisah Buya Hamka
Penulis : Irfan Hamka
Tebal : 323 halaman
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : Kesepuluh, September 2015